Sejarah Kesultanan Riau Lingga (1824-1911)

sejarah kerajaan riau-lingga , peninggalan kerajaan riau lingga, kerajaan yang ada di kepulauan riau, nama raja kerajaan riau, sumber sejarah kerajaan riau, penyebab runtuhnya kerajaan riau-lingga, 5 kerajaan di riau, kemaharajaan melayu riau lingga berlokasi di

Sejarah Kesultanan Riau Lingga (1824-1911)
Kesultanan Lingga atau Kesultanan Riau-Lingga adalah salah satu kerajaan Melayu Islam yang didirikan di Pulau Lingga. Kesultanan ini dibentuk pada tahun 1824 dari pecahan wilayah Kesultanan Johor Riau atas perjanjian yang disetujui oleh Britania Raya dan Hindia Belanda. Pendirinya adalah Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah.  Kerajaan ini mencapai puncak keemasannya pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah ll Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke lV, memerintah dari tahun 1857 hingga 1883 M.

Wilayah Kesultanan Lingga mencakup provinsi Kepulauan Riau sekarang, tetapi tidak termasuk Provinsi Riau yang didominasi oleh Kerajaan Siak yang sebelumnya telah memisahkan diri dari Kerajaan Johor-Riau.

Pusat pemerintahan Kesultanan Lingga awalnya berada di Tanjung Pinang, tetapi kemudian dipindahkan ke Pulau Lingga. Kesultanan Lingga berakhir pada tanggal 3 Februari 1911 dan dikuasai Hindia Belanda. Kesultanan ini berperan dalam pengembangan Bahasa Melayu Riau sebagai bahasa standar yang kemudian ditetapkan sebagai Bahasa Indonesia.


Pendirian

Riau-Lingga pada awalnya merupakan sebahagian dari Kesultanan Melaka, dan kemudian Kesultanan Johor-Riau. Pada 1812 Sultan Mahmud Shah III wafat tanpa pewaris. Dalam sengketa yang timbul Inggris mendukung putera tertua, Tengku Hussain, sedangkan Belanda mendukung adik tirinya, Tengku Abdul Rahman. Penyelesaian pewaris Kesultanan ditentukan dalam Traktat London (VRIENDE BOND GENO OT SCHAP) yang ditandatangani tanggal 10 Nopember 1784.

Keputusannya adalah membagi Kesultanan Johor Riau menjadi dua Kesultanan, yaitu Kesultanan Johor dan Kesultanan Lingga. Kesultanan Johor berada dalam pengaruh Britania Raya, sedangkan Kesultanan Lingga berada dalam pengaruh Hindia Belanda. Abdul Rahman kemudian ditetapkan sebagai sultan pertama dari Kesultanan Riau-Lingga dengan gelar Muazzam Syah.

Pada 7 Oktober 1857 pemerintah Hindia-Belanda menurunkan Sultan Mahmud IV Muzaffar Shah dari takhtanya. Pada saat itu Sultan sedang berada di Singapura. Sebagai penggantinya diangkat bapa saudaranya, yang menjadi raja dengan gelar Sultan Sulaiman II Badrul Alam Shah.

Jawatan (Yang Dipertuan Muda) yang biasanya dipegang oleh bangsawan keturunan Bugis disatukan dengan jabatan raja oleh Sultan Abdul Rahman II pada 1899. Karena tidak ingin menandatangani kontrak yang membatasi kekuasaannya Sultan Abdul Rahman II meninggalkan Pulau Penyengat dan hijrah ke Singapura. Pemerintah Hindia Belanda menurunkan Sultan Abdul Rahman II dari takhtanya in absentia 3 Februari 1911, dan resmi memerintah sehingga tahun 1913.


Keagamaan

Kesultanan Lingga menjadi salah satu pusat kegiatan pembelajaran Islam di kawasan Melayu. Para ulama berdatangan ke Pulau Penyengat untuk mengajarkan ilmu keislaman. Bersamaan dengan ini, di Kesultanan Lingga juga mulai banyak penganut paham tasawuf. Tarekat yang berkembang pesat adalah tarekat Naqsyabandiyah. Pada masa Kesultanan Lingga, paham fikih dan tasawuf yang paling berpengaruh adalah pemikiran Abu Hamid Al-Ghazali. Pemikirannya diajarkan oleh Raja Ali Haji yang telah berguru kepada para ulama di Madinah dan Mekkah.


Kebudayaan

Kesultanan Lingga telah mengembangkan tradisi tulis menulis untuk kepentingan ilmu pengetahuan dalam bidang sastra dan keagamaan. Naskah-naskah ditulis menggunakan Abjad Jawi / huruf pégon. Kesultanan Riau Lingga membuat kamus Bahasa Melayu dan menjadikannya sebagai sebuah bahasa standar.

Pada tahun 1850, Kesultanan Lingga membangun sebuah percetakan surat kabar dengan tulisan dalam Abjad Jawi dan Abjad Latin. Jenis cetakannya adalah cetakan litograf. Selain itu, di Kesultanan Lingga juga dibentuk perkumpulan para cendekiawan yang menulis karya-karya ilmiah dan menerjemahkan buku-buku berbahasa asing, terutama buku keagamaan yang menggunakan bahasa Arab.

Kesultanan Lingga juga mengembangkan Bahasa Melayu, terutama bahasa lisan di kalangan istana. Bahasa Melayu ini kemudian disebarkan untuk digunakan oleh masyarakat umum. Bahasa Melayu kemudian disempurnakan menjadi bahasa baku di Pulau Penyengat. Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Muzafar Syah, Kerajaan Lingga menetapkan Bahasa Melayu sebagai bahasa resmi. Bahasa ini kemudian ditetapkan sebagai bahasa persatuan pada Kongres Pemuda Indonesia yang diadakan pada tahun 1928 dengan sebutan baru yaitu Bahasa Indonesia.

Kerajaan Riau Lingga memiliki peran penting dalam perkembangan bahasa Melayu hingga menjadi bentuknya sekarang sebagai bahasa Indonesia. Pada masa Kerajaan Riau Lingga, bahasa Melayu menjadi bahasa standar yang sejajar dengan bahasa-bahasa besar lain di dunia, yang kaya dengan sastra dan memiliki kamus ekabahasa. Tokoh besar di belakang perkembangan pesat bahasa Melayu ini adalah Raja Ali Haji, seorang pujangga dan sejarawan keturunan Melayu-Bugis.


Sultan-Sultan Riau Lingga

  1. Sultan Abdurrahman (1819-1832)
  2. Sultan Muhammad Syah (1832-1841)
  3. Sultan Mahmud Muzafar Syah (1841-1857)
  4. Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1857-1883)
  5. Sultan Abdurrahman Muazam Syah (1883-1913)


Peninggalan Riau Lingga

  1. Masjid Raya Pulau Penyengat
  2. Mushaf Al-Qur'an
  3. Naskah keagamaan
  4. Naskah pengobatan
  5. Naskah administrasi kesultanan


Peninggalan kebudayaan Riau Lingga

  1. Adat Istiadat: Adat perkawinan, Adat mendirikan rumah
  2. Kesenian Daerah: Zapinm Tari Inaim Silat Pengantinm Jogetm Bangsawan/tonelm Hadrahm Gazalm Berhikayat
  3. Tradisi Daerah: Basuh lantai, Ratif saman, Mandi safar, Haul Jama’


Sumber:

  • https://linggakab.go.id/sejarah/
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Lingga
  • https://kepri.kemenag.go.id/page/detartikel/28092017010906_kesultananlinggariau
  • http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/sejarah-kerajaan-riau-lingga-kepulauan-riau/