silsilah kerajaan siak, kehidupan politik kerajaan siak sri indrapura, keturunan raja siak yang masih hidup, raja terkenal kerajaan siak, raja terakhir kerajaan siak, kehidupan sosial kerajaan siak, makalah kerajaan siak sri indrapura lengkap ,sejarah kerajaan siak sri indrapura
Istana Kesultanan Siak Sri Inderapura. (Wikimedia Commons/Wagino) |
Kesultanan Siak Sri Inderapura atau lebih dikenal dengan nama Kesultanan Siak adalah sebuah Kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Indonesia yang pernah berdiri antara tahun 1723-1945. Kesultanan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil atau Raja Kecik yang berasal dari Johor bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723, setelah sebelumnya terlibat dalam perebutan tahta Johor.
Kerajaan ini mengalami masa kejayaan pada abad ke-19, ketika di bawah pemerintahan Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889-1908). Ketika berkuasa, Sultan Syarif Hasyim membangun Istana Asserayah Hasyimiah atau Istana Siak dan kemajuan pesat kerajaannya dapat dilihat pada bidang ekonomi. Menjelang abad ke-20, Kerajaan Siak mulai mengalami kemunduran setelah diganggu oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, sultan terakhir Siak, Sultan Syarif Kasim II, menyatakan kerajaannya bergabung dengan Republik Indonesia.
Sebelum Kerajaan Siak berdiri, daerahnya adalah wilayah yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Johor. Penguasa wilayah ini juga ditunjuk langsung oleh Sultan Johor. Ketika Kesultanan Johor runtuh, di wilayah Siak terjadi kekosongan kekuasaan selama hampir 100 tahun. Raja Kecik, yang pernah terlibat perang saudara di Johor kemudian menetap di Bintan, dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan, anak Sungai Siak. Negeri baru yang berpusat di Buantan ini dinamai Kerajaan Siak. Kendati demikian, pusat kerajaan sempat beberapa kali mengalami pemindahan. Barulah pada masa pemerintahan Sultan Ismail (1827-1864), pusat kerajaan akhirnya menetap di Kota Siak Sri Indrapura sampai akhir pemerintahannya.
Perkembangan agama Islam di Siak menjadikan kawasan ini sebagai salah satu pusat penyebaran dakwah Islam. Hal ini tidak lepas dari penggunaan nama Siak secara luas di kawasan Melayu. Jika dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang terkenal: Adat menurun, syara’ mendaki dapat bermakna masuknya Islam ke dataran tinggi pedalaman Minangkabau dari Siak sehingga orang-orang yang ahli dalam agama Islam, sejak dahulu sampai sekarang, masih tetap disebut dengan Orang Siak. Sementara di Semenanjung Malaya, penyebutan Siak masih digunakan sebagai nama jabatan yang berkaitan dengan urusan agama Islam.
Walau telah menerapkan hukum Islam pada masyarakatnya, tetapi terdapat sedikit pengaruh Minangkabau dengan identitas matrilinealnya yang masih mewarnai tradisi masyarakat Siak. Dalam pembagian warisan, masyarakat Siak mengikut kepada hukum waris sebagaimana berlaku dalam Islam. Namun dalam hal tertentu, mereka menyepakati secara adat bahwa warisan dalam bentuk rumah hanya diserahkan kepada anak perempuan saja.
- Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah (1723–1746)
- Sultan Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Shah (1746–1760)
- Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Shah (1760–1761)
- Sultan Abdul Jalil Alamuddin Shah (1761–1766)
- Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Shah (1765–1779)
- Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Shah (1779-1781)
- Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Shah (1781–1791)
- Sultan As-Sayyid Al-Sharif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1791–1811)
- Sultan As-Sayyid Al-Sharif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin (1811–1827)
- Sultan As-Sayyid Al-Sharif Ismail Abdul Jalil Syaifuddin (1827–1864)
- Sultan As-Sayyid Al-Sharif Kassim Abdul Jalil Syaifuddin I (1864–1889)
- Sultan As-Sayyid Al-Sharif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889–1908)
- Sultan As-Sayyid Al-Sharif Kassim Abdul Jalil Syaifuddin II (1915–1945)
Setelah mendirikan Kerajaan Siak, Sultan Abdul Jalil atau Raja Kecik mulai melakukan perluasan wilayah dan membangun pertahanan armada laut. Dalam perkembangannya, Siak terus menunjukkan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatera, dengan mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka dan menaklukkan Mempawah di Kalimantan Barat.
Pada masanya, kerajaan ini juga menjadi salah satu pusat penyebaran dakwah Islam. Pada masa sultan Siak ke-11, yaitu Sultan Syarif Hasyim, dibangunlah istana megah yang diberi nama Istana Asserayah Hasyimiah atau Istana Siak.
Puncak kejayaan Kerajaan Siak juga berlangsung pada pemerintahan Sultan Syarif Hasyim. Kebesaran kerajaan ini dapat dilihat dari pesatnya perkembangan ekonomi kerajaan. Selain itu, Sultan Syarif Hakim bahkan berkesempatan untuk berkunjung ke Eropa, yaitu Jerman dan Belanda.
Keruntuhan Kerajaan Siak diawali dengan ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera. Salah satu akibat dari ekspansi Belanda tersebut adalah wilayah kedaulatan Siak menjadi semakin sempit.
Pada 1840, Sultan Siak dipaksa untuk menandatangani perjanjian dengan Inggris, yang menyebabkan wilayahnya menjadi semakin sempit lagi. Kemudian pada 1858, Kesultanan Siak benar-benar kehilangan kedaulatannya setelah menandatangani perjanjian dengan Belanda.
Perubahan ini juga membuat pengaruh hegemoni Siak atas wilayah-wilayah yang pernah dikuasainya lenyap. Kendati demikian, Kesultanan Siak masih mampu bertahan sampai masa kemerdekaan Indonesia. Barulah setelah Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, sultan terakhir Siak, Sultan Syarif Kasim II, menyatakan kerajaannya bergabung dengan Republik Indonesia.
- Istana Asserayah Hasyimiah atau Istana Siak
- Patung Sultan Syarif Hasyim
- Masjid Raya Syahabuddin
- Mahkota kerajaan
- Meriam buntung.