suku asli yang terdapat di kawasan kerajaan pelalawan adalah, masa kejayaan kerajaan pelalawan, kerajaan pelalawan terletak di sungai, sejarah pelalawan, raja kerajaan pelalawan, kerajaan pekantua, peta kabupaten pelalawan, pelalawan pangkalan kerinci, peninggalan kerajaan pelalawan,
Istana Sayap Kerajaan Pelalawan, Riau Magz |
Kerajaan pertama di wilayah Kesultanan Pelalawan adalah Kerajaan Pekantua. Kerajaan bercorak Hindu itu ditaklukan oleh Kesultanan Malaka pada abad ke-15, masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah. Kerajaan Pekantua kemudian diislamkan dan berubah menjadi Kerajaan Pekantua Kampar. Raja pertama di kerajaan itu adalah Sultan Munawar Syah.
Setelah Kesultanan Malaka ditaklukan oleh Portugis pada 1511, Kerajaan Pekantua Kampar memisahkan diri dan mengganti namanya menjadi Kerajaan Tanjung Negeri. Perubahan nama itu dilakukan ketika pusat pemerintahan dipindahkan pada masa pemerintahan Maharaja Lela Utama (1675-1686).
Kerajaan Tanjung Negeri berada di bawah pimpinan Maharaja Dinda II sebagai Rajanya (1720 - 1750 M), dan berdiri di bawah kekuasaan Sultan Johor sebagai Yang Dipertuan Tinggi. Hal ini terjadi setelah Kerajaan Tanjung Negeri berhasil ditaklukan oleh Kesultanan Johor.
Diawali sekitar tahun 1725 M, Maharaja Dinda II memindahkan Pusat Kerajaan Tanjung Negeri dari Sungai Nilo ke Hulu Sungai Rasau, salah satu anak Sungai Kampar di Riau yang bermuara di Selat Malaka. Hal ini terjadi dikarenakan wabah penyakit yang menyerang rakyat Tanjung Negeri sejak masa kekuasaan leluhurnya Maharaja Wangsa Jaya (1686 - 1691 M). Seiring perpindahan tersebutlah Maharaja Dinda II mengubah nama Kerajaan Tanjung Negeri menjadi Kerajaan Pelalawan. Pelalawan, berasal dari kata dasar "Lalau" yang berarti "Cadang", disebutlah daerah Pe-lalau-an atau daerah Pen-cadang-an (tempat yang pernah dicadangkan).
Kesultanan Johor, yang menjadi induk dari Pelalawan, ketika itu mengalami permasalahan internal kerajaan. Hal itu lantas memberikan kesempatan bagi Kesultanan Pelalawan untuk memerdekakan diri. Namun sebelum sempat melepaskan diri dari kekuasaan Kesultanan Johor, Kesultanan Pelalawan terlibat konflik dengan salah satu kerajaan di Riau, yakni Kesultanan Siak Sri Inderapura. Mereka mengklaim dirinya sebagai pewaris Kesultanan Johor, sehingga memerintahkan Kesultanan Pelalawan untuk tunduk pada kekuasaannya. Keinginan Kesultanan Siak itu ditolak oleh Sultan Pelalawan, Maharaja Lela II, sehingga menimbulkan perang di antara kedua kerajaan itu.
Setidaknya ada dua kali penyerangan yang dilakukan oleh Kesultanan Siak ke wilayah Kesultanan Pelalawan, yaitu pada 1797 dan 1810. Serangan pada 1797 dilakukan melalui Sungai Rasau dan Sungai Kampar. Pasukan Pelalawan berhasil memukul mundur armada perang Kesultanan Siak Sri Inderapura.
Serangan tahun 1810 dipimpin oleh Syarif Abdurrahman Fakhruddin. Penyerangan yang kedua ini dilakukan melalui dua arah, yakni jalur darat dari arah hulu Sungai Rasau, dan jalur dari muara Sungai Kampar.
Serangan kedua Kesultanan Siak Sri Inderapura ternyata mendapatkan dukungan pari pemerintah Belanda. Penyerangan kali ini pun berbuah kemenangan bagi Kesultanan Siak Sri Indrapura. Satu persatu pasukan Kesultanan Pelalawan menyerah, hingga akhirnya kerajaan berhasil ditaklukan.
Kesultanan Pelalawan kemudian berada di bawah kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura, dengan sultan barunya, yakni Sultan Syarif Abdurrahman Fakhruddin. Sultan terakhir Kesultanan Pelalawan adalah Syarif Harun, keturunana dari Syarif Abdurrahman.
Pada masa Pemerintahan Sultan Syarif Harun (1940-1946), adalah masa pemerintahan yang paling sulit di Kerajaan Pelalawan. pada masa itu Indonesia sengsara di bawah penjajahan Jepang, rakyat menderita lahir batin. Penderitaan itu dirasakan pula oleh rakyat Pelalawan. Padi rakyat dicabut untuk kepentingan Jepang, orang-orang diburu untuk dijadikan romusha, di mana-mana terjadi kesewenang-wenangan.
Demi menjaga kemakmuran rakyat Pelalawan, pada tahun 1946 Sultan Syarif Harun mendarma baktikan Pelalawan kepada Pemerintah Indonesia Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Sultan Syarif Harun bersama Orang-orang Besar bersepakat menyatakan diri dan seluruh Rakyat Pelalawan ikut ke dalam Pemerintahan Republik Indonesia, dan siap sedia membantu perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada tanggal 7 Agustus 2008, Lembaga Kerapatan Adat Melayu Kabupaten Pelalawan mengangkat Tengku Kamaruddin Haroen bin Sultan Syarif Harun sebagai Sultan Pelalawan ke-10, dengan Gelar Sultan Assyaidis Syarif Kamaruddin Haroen.
Istana Sayap merupakan sebutan bagi Istana Kesultanan Pelalawan, Istana ini awalnya dibangun oleh Sultan ke-7 Pelalawan Baru yang bernama Tengkoe Besaar Sontol Said Ali (1886 – 1892 M).
Masjid Hibbah Pelalawan dibangun tahun 1936, semasa pemerintahan Regent Tengkoe Pangeran Said Osman (1930 – 1941). Lokasi Masjid di tetapkan di pinggir sungai 'Naga Belingkar'.
Tidak jauh dari Istana Sayap, tepatnya di bagian hulu dapat dijumpai tempat di mana sebagian Meriam Peninggalan Kerajaan Pelalawan diletakkan. Sebagian meriam berwarna kuning dan sebagian lagi berwarna hitam, dahulunya meriam ini merupakan fasilitas pertahanan utama yang digunakan Kerajaan Pelalawan saat berperang melawan musuh.
Komplek pemakaman ini terdiri dari tiga bagian, yang masing-masing terpisah beberapa puluh meter dan memiliki bangunan pelindung sendiri-sendiri. Yakni makam Raja, makam Dekat dan makam Jauh.
Masih banyak lagi peninggalan-peninggalan sejarah Kerajaan Pelalawan yang berada di Komplek Kerajaan di desa Pelalawan, di antaranya seperti bangunan Pesenggerahan Panglima Kudin, Rumah kediaman Sultan Syarif Haroen (1940-1946), Rumah kediaman Regent Tengkoe Pangeran Said Osman (1931-1940), benda-benda kecil seperti stempel kerajaan, baju kebesaran Raja, tempat tidur Raja, alat tenun Tuan Putri, alat musik Istana, keris, tombak, perhiasan-perhiasan, gong, piring, dan benda-benda pusaka lainnya.
- Gustama, Faisal Ardi. 2017. Buku Babon Kerajaan-Kerajaan di Nusantara. Yogyakarta : Brilliant Book
- H. T. S. Umar Muhammad, Tenas Effendi, T. Razak Jaafar. Silsilah Siak dan Pelalawan, 1987.
- Tenas Effendi, H. jamaludin TA, Mitos Marhum Kampar dan cerita rakyat Pelalawan.
- Tengkoe Nazir, Sari Sejarah Pelalawan, 1984