Sejarah Kerajaan Pedir (1400-1524)

Pedir / Poli (Pidie) adalah satu Kerajaan yang terletak di provinsi Aceh, berdiri abad ke-15. Kemudian menjadi kerajaan kecil di bawah Kesultanan Aceh. Kerajaan Pedir termasuk kerajaan tua di Aceh yang pernah menjadi pusat perdagangan dan sangat kaya.

Sejarah Kerajaan Pedir  (1400-1524)
Museum Pedir

Sejarah Awal

Catatan sejarah mengenai Kerajaan Pedir sangat terbatas dan banyak didapatkan dari berita-berita asing. Berita-berita asing pun menyebut kerajaan ini dengan sejumlah nama berbeda, seperti Poli (China) dan Pidie (Portugis).

Fa Hien, seorang penjelajah China yang singgah di Aceh pada awal abad ke-5 menyebut bahwa Poli diperintah oleh raja yang beragama Buddha. Kemudian pada masa pelayaran dan perdagangan awal, wilayah Aceh, termasuk Pedir, dikenal sebagai penyedia komoditas pokok bagi negeri-negeri di berbagai belahan dunia. Para pedagang Arab dan Persia pun semakin membanjiri perairan Aceh untuk mendapatkan berbagai jenis rempah dan kekayaan bumi lainnya.

Berita awal abad ke-16 M dari Tome Pires mengatakan bahwa di Sumatera, terutama di sepanjang pesisir Selat Malaka, telah banyak kerajaan Islam, salah satunya Kerajaan Pedir. Selain Pasai, Pedir juga merupakan sebuah kerajaan dengan hasil alam melimpah dan menjadi pusat perdagangan. Produksi andalannya saat itu adalah lada, sutra, kapur barus, dan emas.


Sumber sejarah

Sejarawan Aceh, M. Junus Jamil di dalam bukunya yang berjudul “Silsilah Tawarick Radja-Radja Kerajaan Aceh”, berisi tentang sejarah Negeri Pidie/Sjahir Poli. Kerajaan ini digambarkan sebagai daerah dataran rendah yang luas dengan tanah yang subur, sehingga kehidupan penduduknya makmur. Batas-batas kerajaan ini meliputi, sebelah timur dengan Kerajaan Samudra Pasai, sebelah barat dengan Kerajaan Aceh Darussalam, sebelah selatan dengan pegunungan, serta dengan selat Malaka di sebelah utara.

Sementara dalam kisah pelayaran bangsa Portugal, mereka menyebut Pidie sebagai Pedir. Sedangkan dalam kisah pelayaran bangsa Tiongkok disebut sebagai Poli. Asumsinya, orang Tiongkok tidak dapat menyebut kata “Pidie” seperti yang kita ucapkan. Dalam catatan pelayat Tiongkok itu disebutkan, bahwa Kerajaan Pedir luasnya sekitar seratus kali dua ratus mil, atau sekitar 50 hari perjalanan dari timur ke barat dan 20 hari perjalanan dari utara ke selatan.

Menurut M. Junus Jamil, suku yang mendiami kerajaan ini berasal dari Mon Khmer yang datang dari Asia Tenggara yakni dari Kerajaan Champa. Suku Mon Khmer itu datang ke Poli beberapa abad sebelum masehi. Rombongan ini dipimpin oleh Syahir Pauling yang kemudian dikenal sebagai Syahir Poli. Mereka kemudian berbaur dengan masyarakat sekitar yang telah lebih dahulu mendiami kawasan tersebut.

Setelah berlabuh dan menetap di kawasan itu (Pidie), Sjahir Poli mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Kerajaan Sama Indra. Waktu itu mereka masih menganut agama Budha Mahayana atau Himayana. Oleh M Junus Djamil diyakini dari agama ini kemudian masuk pengaruh Hindu. Lama kelamaan Kerajaan Sama Indra pecah mejadi beberapa kerajaan kecil. Seperti pecahnya Kerajaan Indra Purwa (Lamuri) menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra, Indrapurwa dan Indrajaya yang dikenal sebagai kerajaan Panton Rie atau Kantoli di Lhokseudu.

Kala itu Kerajaan Sama Indra menjadi saingan Kerajaan Indrapurba (Lamuri) di sebelah barat dan kerajaan Plak Plieng (Kerajaan Panca Warna) di sebelah timur. Kerajaan Sama Indra mengalami goncangan dan perubahan yang berat kala itu, Menurut M Junus Djamil, pada pertengahan abad ke-14 masehi penduduk di Kerajaan Sama Indra beralih dari agama lama menjadi pemeluk agama Islam, setelah kerajaan itu diserang oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Mansyur Syah (1354 – 1408 M). Selanjutnya, pengaruh Islam yang dibawa oleh orang-orang dari Kerajaan Aceh Darussalam terus mengikis ajaran Hindu dan Budha di daerah tersebut.


Silsilah Raja-Raja / Pemimpin Pemerintahan Pidier / pedir saat itu

  1. Maharaja Sulaiman Noer: Anak Sultan Husein Syah.
  2. Maharaha Sjamsu Syah: Kemudian menjadi Sultan Aceh.
  3. Maharaja Malik Ma’roef Syah: Putra dari Maharaja Sulaiman Noer. Mangkat pada tahun 1511 M, dikuburkan di Klibeut di sisi kuburan ayahnya.
  4. Maharaja Ahmad Sjah: Putra Maharaja Ma’roef Syah. Pernah berperang melawan Sulthan Ali Mughayat Syah, tetapi kalah. Mangkat pada tahun 1520 M, dikuburkan di Klibeut di sisi kuburan ayahnya.
  5. Maharaja Husain Syah: Putra Sultan Riayat Syah II (Meureuhom Khaa), kemuian menggantikan ayahnya menjadi Sulthan Aceh.
  6. Maharaja Saidil Mukamil: Putra dari Maharaja Firman Syah, kemudian menjadi Sulthan Aceh dari 1589 sampai 1604 M. Ayah dari ibu Sulthan Iskandar Muda.
  7. Maharaja Husain Syah: Putra dari Sulthan Saidil Mukamil
  8. Maharaja Meurah Poli: Meurah Poli Negri Keumangan dikenal sebagai Laksamana Panglima Pidie yang terkenal dalam perang Malaka (Pran Raja Siujud).
  9. Maharaja Po Meurah: Syahir Poli, Bentara IX Mukim Keumangan yang bergelar Pang Ulee Peunaroe. Pengatur negeri Pidie.
  10. Meurah Po Itam: Bentara Kumangan bergelar Pang Ulee Peunaroe.
  11. Meurah Po Puan: Bentara keumangan bergelar Pang Ulee peunaroe
  12. Meurah Po Thahir: Bentara Keumangan yang terkenal dalam perang Pocut Muhammad dengan Potue Djemaloiy (Sulthan Djamalul Alam Badrul Munir) pada
  13. tahun 1740 M. Ia mempunyai dua orang saudara: Meurah Po Doom dan Meurah Po Djoho.
  14. Meurah Po Seuman: Pang Ulee Peunaroe dengan nama asli Usman.
  15. Meurah Po Lateh: Pang Ule peunaroe dengan nama asli Abdul Latif, terkenal dengan sebutan Keumangan Teungeut.
  16. Teuku Keumangan Yusuf: Sudah masuk masa perang Aceh dengan Belanda.
  17. Teuku Keumangan Umar: Uleebalang IX Mukim, Pidie.


Runtuhnya Kerajaan Pedir

Kerajaan Pedir mulai mengalami kemunduran saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Pasalnya, para pedagang Islam yang semula singgah di Malaka pindah ke Aceh. Bahkan pedagang India tidak lagi singgah di Malaka karena Portugis memungut bea cukai yang tinggi dan menjalankan monopoli. Dampaknya, pelayaran dan perdagangan di Pedir semakin sepi karena para pedagang beralih ke Aceh. 

Pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Aceh, Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim, berhasil membawa kerajaannya menjadi besar dan kuat. Di bawah Sultan Ali Mughayat Syah pula, Aceh mampu menghimpun kekuatan dan melepaskan diri dari Kerajaan Pedir pada 1520.

Kemudian pada 1524, Kerajaan Pedir ditaklukkan dan sejak itu menjadi bawahan Kerajaan Aceh. Kedekatan hubungan Pedir dengan Portugis disinyalir menjadi penyebab utama tindakan militer Aceh.


Referensi:

  • Wikipedia bahasa Indonesia, Kerajaan Pedir
  • Hadi, Amirul. (2010). Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.