Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam

sejarah kesultanan palembang darussalam, sumber sejarah kesultanan palembang, letak kesultanan palembang, pendiri kesultanan palembang, masa kejayaan kesultanan palembang, kesultanan palembang sekarang, kesultanan palembang darussalam pdf, peninggalan kesultanan palembang

Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam
Kesultanan Palembang: Sejarah, Pendiri, Raja-Raja, dan Peninggalan

Kesultanan Palembang Darussalam adalah suatu kerajaan Melayu Islam di Sumatra yang berpusat di Kota Palembang, Sumatra Selatan sekarang. Kesultanan Palembang adalah kerajaan  yang pernah berdiri antara abad ke-17 hingga abad ke-19. Kesultanan ini diproklamirkan oleh Sri Sultan Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam, seorang bangsawan Palembang pada tahun 1659, dan dihapuskan keberadaannya oleh pemerintah kolonial Belanda pada 7 Oktober 1823.

Pada masa jayanya, wilayah kekuasaannya pernah mencakup Provinsi Sumatra Selatan, Bengkulu, Bangka Belitung, Jambi, dan Lampung. Pada 1823, kesultanan ini dihapus oleh Belanda, setelah keduanya terlibat dalam pertempuran panjang. Kemudian pada 2003, Kesultanan Palembang Darussalam dihidupkan kembali, tetapi hanya sebagai simbol kebudayaan di Sumatra Selatan. Sultan Palembang sekarang adalah Sultan Mahmud Badaruddin IV Fauwaz Diradja, yang naik takhta pada 2017.

Malthe Conrad Bruun (1755-1826) seorang petualang dan ahli geografi dari Prancis mendeskripsikan keadaan masyarakat dan kota kerajaan waktu itu, yang telah dihuni oleh masyarakat yang heterogen terdiri dari Tiongkok, Siam, Melayu dan Jawa serta juga disebutkan bangunan yang telah dibuat dengan batu bata hanya sebuah vihara dan istana kerajaan.


Sejarah Kesultanan Palembang

Ketika terjadi kemelut di Kesultanan Demak, banyak keluarga kerajaan yang melarikan diri ke Palembang. Salah satunya adalah Ki Gede Sedo Ing Lautan, yang kemudian mendirikan kerajaan di Palembang pada sekitar pertengahan abad ke-16.

Ki Gede Sedo Ing Lautan inilah yang nantinya menurunkan raja-raja di Kesultanan Palembang. Namun, kerajaannya saat itu masih menjadi bawahan Kesultanan Mataram, yang dianggap sebagai pelindung dari Kesultanan Banten. Barulah pada masa Ki Mas Hindi (1659-1706), Kerajaan Palembang memutuskan segala hubungan dengan Kesultanan Mataram.

Ki Mas Hindi kemudian menyatakan dirinya sebagai sultan, yang kedudukannya setara dengan penguasa Mataram. Oleh karena itu, Ki Mas Hindi dikenal sebagai pendiri dan raja pertama Kesultanan Palembang, yang kemudian bergelar Sultan Abdurrahman.


Pusat pemerintahan Kesultanan Palembang

Keraton pertama Kesultanan Palembang didirikan di Kuto Gawang, tetapi habis dibakar oleh VOC pada 1659.

Sejak 1601, Kerajaan Palembang tercatat telah melakukan hubungan dengan VOC. Namun kerjasama itu memburuk karena wakil VOC di Palembang bertindak semaunya.

Pembakaran Keraton Kuto Gawang adalah serangan balasan dari VOC, akibat perlawanan yang dilakukan Palembang. Setelah itu, Sultan Abdurrahman memindahkan keratonnya ke Beringin Janggut, yang terletak di sekitar Masjid Lama.

Lokasi Kesultanan Palembang ini dibatasi oleh sungai-sungai yang saling berhubungan. Pada periode pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1757), keraton kesultanan dipindahkan ke Kuto Tengkurak. Kemudian pada saat Sultan Muhamad Bahauddin (1776-1803) naik takhta, pusat pemerintahan kembali dipindahkan, yakni ke Kuto Besak. Keraton Kuto Besak adalah istana terbesar yang pernah dibangun Kesultanan Palembang dan masih berdiri hingga sekarang.


Wilayah Kekuasaan

Kesultanan yang pernah berkuasa dari tahun 1659 - 7 Oktober 1823 ini merupakan Kesultanan terbesar di Sumatera Bahagian Selatan. Daerah Kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam ini sekarang mencakup Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bengkulu (dulu Bangka Hulu), Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Jambi dan Provinsi Lampung.

Di luar Sumatera, Kasultanan ini juga menjalin hubungan diplomatik dengan Kesultanan Banten, Kesultanan Demak dan Kerajaan Blambangan di Banyuwangi. Sedangkan dalam Kesultanan Kubu, Kesultanan Palembang Darussalam menikah dengan Yang dipertuan Besar Kubu I, Sayyid Idrus melakukan pernikahan dengan putri Sultan Mahmud Badaruddin I Jaya Wikrama.

Dalam Tarsilah Kesultanan Brunei Darussalam, disebutkan bahwa Tumenggung Mancanegara (Pangeran Manchu Negoro) yang merupakan kakek dari Sultan Abdurrahman, pendiri kesultanan Palembang Darussalam adalah isteri dari Sultan Brunei, Sultan Abdul Jalilul Akbar, dengan masa periode pemerintahan 1598-1659.


Ekonomi

Situasi di Palembang mengalami naik turun setelah kejatuhan Sriwijaya. Palembang muncul kembali dalam wujud Kesultanan Palembang dan kondisi perkenomiannya yang kembali bangkit pada abad ke-16 berkat pengiriman hasil panen lada oleh petani lada Minangkabau ke pasar Palembang melalui sungai Musi. Hal itu berhasil menarik perhatian pembeli lada dari Cina, Portugis, Belanda dan Inggris.

Kesultanan Palembang berada kawasan yang strategis dalam melakukan hubungan dagang terutama hasil rempah-rempah dengan pihak luar. Kesultanan Palembang juga berkuasa atas wilayah kepulauan Bangka Belitung yang memiliki tambang timah dan telah diperdagangankan sejak abad ke-18.


Silsilah Kesultanan Palembang

Berikut ini raja-raja yang pernah memimpin di Kesultanan Palembang sejak didirikan hingga sekarang.

  • Sri Susuhunan Abdurrahman (1659–1706)
  • Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706–1718)
  • Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno (1718–1724)
  • Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo (1724–1757)
  • Sultan Ahmad Najamuddin I Adi Kusumo (1757–1776)
  • Sultan Muhammad Bahauddin (1776–1803)
  • Sultan Mahmud Badaruddin II (1804–1813, 1818–1821)


Diperebutkan Belanda dan Inggris

Sejak melakukan kerjasama pada awal abad ke-17, Belanda selalu berupaya menguasai Palembang. Keinginan Belanda menguasai Kesultanan Palembang karena adanya pertambangan timah. Bahkan ketika timah ditemukan di Bangka, Palembang juga menjadi incaran Inggris. Pada akhirnya, Inggris berhasil menduduki Palembang, hingga membuat Sultan Mahmud Badaruddin II menyingkir ke hulu Sungai Musi. Ketika Indonesia dikembalikan oleh Inggris ke Belanda, Sultan Mahmud Badaruddin II pun kembali berkuasa.


Runtuhnya Kesultanan Palembang

Pada 12 Juni 1819, pertempuran Palembang melawan Belanda dimulai, yang berlanjut hingga masa sultan berikutnya. Setelah sempat mengalami kekalahan, Belanda meluncurkan serangan dadakan pada Juni 1821, yang berhasil melumpuhkan Palembang.

Tidak lama kemudian, Palembang resmi jatuh ke tangan Belanda. Sementara Sultan Ahmad Najamuddin III dibawa ke Batavia untuk diasingkan ke Maluku hingga akhir hidupnya.

Pada 7 Oktober 1823, Kesultanan Palembang resmi dihapus oleh Belanda dan Kuto Tengkuruk dihancurkan hingga rata dengan tanah.

Setelah sekian lama, Majelis Adat Palembang memutuskan untuk menghidupkan kembali Kesultanan Palembang dan melantik Raden Muhammad Syafei Prabu Diraja sebagai sultan dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin III. Sultan Mahmud Badaruddin III kemudian digantikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin IV Fauwaz Diradja, yang naik takhta pada 2017. Penobatan tersebut berlangsung di Masjid Lawang Kidul, dekat makam Sultan Mahmud Badaruddin I, pada 2003.


Peninggalan Kesultanan Palembang

Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam
Benteng Kuto

Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam
Besak Masjid Agung Palembang

Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam
Makam Raja-Raja Palembang

Referensi

  • Asiah, Nur. (2019). Ensiklopedia Kerajaan Indonesia Jilid 3. Jakarta: Mediantara Semesta.
  • Wikipedia Bahasa Indonesia. Enslikopedia bebas, Kesultanan Palembang