Volksraad

Volksraad
Pembukaan Volksraad oleh gubernur-jendral
Van Limburg Stirum tanggal 18 Mei 1918
Volksraad berasal dari bahasa Belanda yang secara harafiah berarti "Dewan Rakyat", adalah semacam dewan perwakilan rakyat Hindia-Belanda. Dewan ini dibentuk pada tanggal 16 Desember 1916 oleh pemerintahan Hindia-Belanda yang diprakarsai oleh Gubernur-Jendral J.P. van Limburg Stirum bersama dengan Menteri Urusan Koloni Belanda; Thomas Bastiaan Pleyte.

Pada awal berdirinya, Dewan ini memiliki 38 anggota, 15 di antaranya adalah orang pribumi. Anggota lainnya adalah orang Belanda (Eropa) dan orang timur asing: Tionghoa, Arab dan India. Pada akhir tahun 1920-an mayoritas anggotanya adalah kaum pribumi.

Awalnya, lembaga ini hanya memiliki kewenangan sebagai penasehat. Baru pada tahun 1927, Volksraad memiliki kewenangan ko-legislatif bersama Gubernur-Jendral yang ditunjuk oleh Belanda.

Karena Gubernur-Jendral memiliki hak veto, kewenangan Volksraad sangat terbatas. Selain itu, mekanisme keanggotaan Volksraad dipilih melalui pemilihan tidak langsung.

Pada tahun 1939, hanya 2.000 orang memiliki hak pilih. Dari 2.000 orang ini, sebagian besar adalah orang Belanda dan orang Eropa lainnya.

Selama periode 1927-1941, Volksraad hanya pernah membuat enam undang-undang, dan dari jumlah ini, hanya tiga yang diterima oleh pemerintahan Hindia Belanda.

Sebuah petisi Volksraad yang ternama adalah Petisi Soetardjo. Soetardjo adalah anggota Volksraad yang mengusulkan kemerdekaan Indonesia.

Bahasa Indonesia dalam sidang Volksraad

Dominasi kolonial pada masa itu hampir mencakup semua aspek, sampai pada forum-forum resmi harus menggunakan Bahasa Belanda, padahal sejak Kongres Pemuda II (1928) bahasa Indonesia disepakati sebagai bahasa persatuan yang menjadi salah satu alat perjuangan kalangan pro-kemerdekaan. Untuk itulah Mohammad Hoesni Thamrin mengecam pedas tindakan-tindakan yang dianggap mengecilkan arti bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia dalam sidang-sidang Volksraad diperbolehkan sejak Juli 1938.

Jahja Datoek Kajo

Adalah Jahja Datoek Kajo, yang menjadi anggota Volksraad pada tahun 1927 mendapat perkecualian berbahasa Indonesia. Sejak 16 Juni 1927, Jahja selalu menggunakan bahasa Indonesia  dalam semua pidato-pidatonya di Volksraad.

Jahja meminta kepada para hadirin yang mau menyela pembicaraannya agar menggunakan bahasa Indonesia. Dia berterus terang bahwa di dalam sidang majelis Volksraad lebih suka dengan bahasa Indonesia karena merasa seorang Indonesier. Pidatonya yang berapi-api dengan bahasa Indonesia di Volksraad membuat wakil-wakil Belanda marah. Atas keberaniannya itu, koran-koran pribumi memberinya gelar "Jago Bahasa Indonesia di Volksraad".
(Wikipedia Bahasa Indonesia)