Sejarah Kesultanan Buton, Kerajaan Islam di Baubau, Sulawesi Tenggara

Penelusuran terkait: raja-raja kesultanan buton, peninggalan kesultanan buton, silsilah raja buton, pendiri kesultanan buton, masa kejayaan kesultanan buton, raja kerajaan buton, 72 kadie kesultanan buton, sejarah kerajaan buton

Sejarah Kesultanan Buton, Kerajaan Islam di Baubau, Sulawesi Tenggara

Kesultanan Buton adalah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Baubau, Sulawesi Tenggara, antara abad ke-16 hingga abad ke-20. Kesultanan Buton dikenal juga berhasil mempertahankan kedaulatannya meski berkali-kali terlibat perang dengan Belanda.

Sebelum masuknya Islam

Kerajaan Buton awalnya terdiri dari perkampungan kecil yang dinamakan Wolio (saat ini berada dalam wilayah Kota Bau-Bau) yang dipimpin dengan sistem pemerintahan tradisional dan berbentuk 4 Limbo (Empat Wilayah Kecil) yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu yang masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang Bonto sehingga lebih dikenal dengan Patalimbona. Pemerintahan ini dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) yaitu Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati yang oleh sumber lisan mereka berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke – 13.

Keempat orang Bonto tersebut disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja. Selain empat Limbo yang disebutkan di atas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil seperti Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Maka atas jasa Patalimbona, kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung dan membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Buton dan menetapkan Wa Kaa Kaa (seorang wanita bersuamikan Si Batara seorang turunan bangsawan Kerajaan Majapahit) menjadi Raja I pada tahun 1332 setelah mendapat persetujuan dari keempat orang bonto/patalimbona (yang dikemudian hari menjadi lembaga legislatif).

Setelah itu, secara berturut-turut kekuasaan dilanjutkan oleh Raja Bataraguru, Raja Tuarade, Raja Rajamulae, dan Raja Murhum.


Masuknya Islam ke Buton

Pengaruh Islam mulai masuk ke Buton pada periode kekuasaan Raja Murhum dan kerajaan resmi berubah menjadi Kesultanan Buton. Setelah masuk Islam, gelar yang diberikan kepada Raja Buton adalah Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis. 

Namun demikian, terdapat perbedaan pendapat di kalangan sejarawan tentang asal-usul masuknya agama Islam di Buton. Sebagian meyakini bahwa Buton berubah menjadi kerajaan Islam setelah mendapatkan pengaruh dari Ternate. Sedangkan sebagian lainnya berpendapat bahwa Islam datang di Buton berkat pengaruh dari Johor.

Orang yang membawa agama dan ajaran Islam dari Johor ke Buton adalah Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani. Sesampainya di Buton, Syeikh Abdul Wahid mengislamkan raja keenam yang bernama Timbang Timbangan atau Lakilapotan, yang lebih dikenal sebagai Raja Halu Oleo. Setelah masuk Islam, Raja Halu Oleo bergelar Ulil Amri dan menggunakan gelar khusus, yaitu Sultan Qaimuddin. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, para sejarawan sepakat bahwa Kerajaan Buton resmi menjadi kerajaan Islam pada abad ke-16.


Sistem pemerintahan

Sistem pemerintahan Kesultanan Buton  berbeda dari kerajaan-kerajaan di Nusantara yang menerapkan monarki absolut, bentuk pemerintahan Kesultanan Buton adalah monarki konstitusional.

Sistem monarki konstitusional membuat demokrasi memegang peranan penting. Sultan bukan diwariskan berdasarkan keturunan saja, tetapi dipilih oleh Siolimbona, yakni dewan yang terdiri dari sembilan orang penguasa dan penjaga adat Buton.

Selain itu, kesultanan ini memiliki undang-undang sendiri, lengkap dengan badan-badan yang bertindak sebagai legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Bandan-bandan yang dimaksud adalah Sara Pangka (eksekutif), Sara Gau (legislatif), dan Sara Bitara (Yudikatif).

Undang-undang di Kesultanan Buton disebut Murtabat Tujuh, yang diresmikan oleh Sultan La Elangi (1597-1631) dan digunakan hingga kesultanan dihapuskan. Uniknya, hukum di Kesultanan Buton ditegakkan bagi semua orang, tidak hanya rakyat jelata tetapi juga pejabat istana atau bahkan sultan sekalipun. Terbukti, selama empat abad berdiri, terdapat 12 sultan Buton yang dihukum karena melanggar undang-undang. Kesultanan Buton juga memegang lima falsafah hidup, yakni agama (Islam), Sara (pemerintah), Lipu (negara), Karo (diri pribadi/rakyat), dan Arataa (harta benda).


Masa kejayaan

Pada masa kejayaannya, Kesultanan Buton pernah menguasa Pulau Buton dan beberapa wilayah di provinsi Sulawesi Tenggara. Untuk mendukung pemerintahannya, kesultanan ini menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi dan Pulau Jawa.

Hubungan itu membuat perekonomian Kesultanan Buton berkembang pesat, terutama dalam sektor perdagangan. Terlebih lagi, Buton termasuk wilayah strategis, yang sering dilalui oleh kapal dagang dari mancanegara. Selain itu, produksi rempah-rempahnya juga meningkat tajam. Kesultanan Buton diketahui telah memiliki alat pertukaran atau mata uang yang disebut kampua, yakni sehelai kain tenun berukuran 17,5 cm x 8 cm.

Pada abad ke-17, pemerintahan Buton telah mengembangkan sistem perpajakan yang sangat baik, di mana pajaknya agak ditagih oleh seorang Tunggu Weti.


Runtuhnya Kesultanan Buton

Meski berhasil memerangi Belanda, masa kemunduran Kesultanan Buton ternyata justru datang karena konflik internal kerajaan. Kekuatan kesultanan pun semakin melemah hingga Indonesia merdeka. Pada akhirnya, Kesultanan Buton hanya dapat bertahan hingga 1960, ketika sultan terakhirnya meninggal. Setelah itu, Kesultanan Buton bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Daftar penguasa Buton

Daftar Raja

  1. Ratu ke I: Wa Kaa Kaa
  2. Ratu ke II: Bulawambona
  3. Raja ke III: Bataraguru
  4. Raja ke IV: Tua Rade
  5. Raja ke V: Mulae
  6. Raja ke VI: La Kilaponto / Timbang Timbaga / Halu Oleo / Murhum

Daftar sultan

  1. 1491-1537: Sultan Murhum
  2. 1545-1552: Sultan La Tumparasi
  3. 1566-1570: Sultan La Sangaji
  4. 1578-1615: Sultan La Elangi
  5. 1617-1619: Sultan La Balawo
  6. 1632-1645: Sultan La Buke
  7. 1645-1646: Sultan La Saparagau
  8. 1647-1654: Sultan La Cila
  9. 1654-1664: Sultan La Awu
  10. 1664-1669: Sultan La Simbata
  11. 1669-1680: Sultan La Tangkaraja
  12. 1680-1689: Sultan La Tumpamana
  13. 1689-1697: Sultan La Umati
  14. 1697-1702: Sultan La Dini
  15. 1702: Sultan La Rabaenga
  16. 1702-1709: Sultan La Sadaha
  17. 1709-1711: Sultan La Ibi
  18. 1711-1712: Sultan La Tumparasi
  19. 1712-1750: Sultan Langkarieri
  20. 1750-1752: Sultan La Karambau
  21. 1752-1759: Sultan Hamim
  22. 1759-1760: Sultan La Seha
  23. 1760-1763: Sultan La Karambau
  24. 1763-1788: Sultan La Jampi
  25. 1788-1791: Sultan La Masalalamu
  26. 1791-1799: Sultan La Kopuru
  27. 1799-1823: Sultan La Badaru
  28. 1823-1824: Sultan La Dani
  29. 1824-1851: Sultan Muh. Idrus
  30. 1851-1861: Sultan Muh. Isa
  31. 1871-1886: Sultan Muh. Salihi
  32. 1886-1906: Sultan Muh. Umar
  33. 1906-1911: Sultan Muh. Asikin
  34. 1914: Sultan Muh. Husain
  35. 1918-1921: Sultan Muh. Ali
  36. 1922-1924: Sultan Muh. Saifu
  37. 1928-1937: Sultan Muh. Hamidi
  38. 1937-1960: Sultan Muh. Falihi Qaimuddin Khalifatul Khamis


Peninggalan Kesultanan Buton

  1. Benteng Keraton Buton
  2. Istana Malige
  3. Kasulana Tombi
  4. Masjid Agung Keraton Buton (Masjid Ogena)
  5. Kampua