Sejarah Kerajaan Hoamoal di Maluku

Kerajaan Hoamoal adalah kerajaan Islam di Pulau Seram, Kepulauan Maluku. Kerajaan ini berdiri pada tahun 1256 sampai abad ke-17 dan memiliki kekuasaan terbentang dari ujung selatan seram barat yaitu tanjung sial menuju utara, tanah genting kota nia yang disebut “Jazirah Hoamoal” termasuk didalamnya pulau Buano, Kelang, dan pulau Manipa. 

Raja Kerajaan Hoamoal pada abad ke-17 adalah Pati Malaka. Pati Malaka adalah raja yang bijaksana dan berkuasa atas 99 negeri. Daerah kekuasaannya meliputi Seram Barat dan Buru. 

Pusat pemerintahan Kerajaan Hoamoal awalnya berada di Kota Mulu, yang berarti Kota Raja. Kemudian, pusat pemerintahan dipindahkan ke Negeri Luhu.

Kerajaan Hoamoal memiliki peran penting dalam Islamisasi di wilayah Maluku Tengah. Perkembangan Kerajaan Hoamoal tidak terlepas dari pengaruh Ternate dalam membentuk jaringan Islamisasi dan perdagangan.

Kerajaan Hoamoal memiliki konsep kenegaraan, rakyat yang besar, wilayah teritorial yang luas, sistem pemerintahan, lambang kerajaan, dan bendera kerajaan.

Dalam riwayat tercatat masyarakat di berbagai daerah Hoamoal membangun benteng pertahanan rakyat sebagai antisipasi melindungi pemukiman dari serangan VOC.


Sejarah kehancuran

Sebelum kedatangan bangsa portugis, spanyol dan Belanda Negeri Luhu berada dalam bingkai kerajaan Hoamoal dari 99 Negeri di semenanjung Jazirah Hoamoal. Perang Hoamoal berkobar di tahun 1602-1651 (50 Tahun Perang Hoamoal) telah membumihanguskan 98 negeri dan tinggal satu-satunya negeri yaitu Negeri Luhu sebagaimana yang dituangkan dalam bahasa Hoamoal yang sekarang ini menjadi bahasa adat Luhu dan sering dipakai dalam upacara adat (ritual adat) disaat pelantikan raja atau Upulatu Luhu.

Perubahan besar di Hoamoal terjadi di masa kekuasaan Belanda. Sejak masa pemerintahan Gubernur Van Diemen serta gubernur Jan Pieters Coen dan yang terakhir gubernur Arnold De Vlamingh Van Oudshoorn pada periodesasi (1655-1661) merupakan gubernur VOC/Belanda yang paling kejam, dalam masa jabatannya tersebut  mengakibatkan sedikitnya sekitar 50.000 jiwa tewas, dan dihancurkannya kehidupan masayarakat di Hoamoal. Para gubernur itu menggunakan kekerasan untuk monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku, terkhusus di Hoamoal. Kemudian ada negeri Luhu (Hoamoal).

Banyak penduduk Hoamoal yang melarikan diri keluar dari daerahnya dan mencari pemukiman baru tersebar hampir di seluruh pelosok adapun di pulau Ambon contohnya, Negeri Hatu yang semua penduduknya adalah merupakan pelarian dari daerah (Hena Hatu) Piru Jasirah Hoamoal.

Demikian juga di Negri Liang, ada tempat tinggal masyarakat Hoamoal sehingga tempat itu di beri nama Hunimua, yang kemudian membaur dengan masyarakat setempat.

Beberapa mata rumah di ujung Nusaniwe, Latuhalat, Seilale dan Amahussu adalah merupakan anak2 cucu Hoamoal yang sampe sekarang masih menempati daerah tersebut. Demikian juga di negeri Soya, Kilang, Naku, Ema, Hatalai dan Hutumury, merupakan daerah2 yang didatangi masyarakat Hoamoal ketika terjadi peperangan di daerahnya.

Sebagian masyarakat Pulau Buru, merupakan keturunan dan anak cucu Hoamoal yang hingga saat ini menepati pulau tersebut. Dan masih banyak lagi yang tidak disebutakan seperti di pulau Saparua, [pada saat perang Ama ihal, kerajaan Hoamoal mengirimkan 66 pucuk meriam dengan pasukannya untuk membantu kerajaan Iha, pasukan2 tersebut akhirnya menetap di Saparua hingga kini.