Perang Aceh-Belanda atau disingkat Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada januari 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut.
Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 5 April 1873, Belanda mendarat di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.
Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:
Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat pada tanggal 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai sultan Aceh di mesjid Indrapuri. Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial setelah berhasil menguasai istana, menyatakan pada dunia bahwa Aceh telah ditaklukan dan perang telah berakhir. namun pernyataan pemerintah belanda ternyata salah besar, perang Aceh terus berlanjut secara gerilya dengan semangat fisabilillah terus berkobar diseluruh Aceh. perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1942 menjelang Jepang datang.
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III dari Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman azh-Zhahir untuk meminta bantuan kepada Kalifah Usmaniyah. Namun Turki Utsmani kala itu sedang menghadapi invasi rusia yang mencaplok kawasanya seperti uzbekistan dan lain-lain. Sedangkan Amerika Serikat menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania Raya yang sedang ditawan disalah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, August Willem Philip Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima perang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut NyaK Dhien, istri Teuku Umar tampil menjadi komandan perang gerilya.
Pada tahun 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Atjehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Isi nasihat Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah:
Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada 1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasihatnya, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda), merebut sebagian besar Aceh.
Sultan Muhammad Daudsyah akhirnya terpaksa meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda (Belanda menggunakan strategi licik dengan menekan/menangkap keluarga sultan/pejuang Aceh untuk melemahkan perjuangan mereka). setelah penyerahan diri sultan, perjuangan mempertahankan kedaulatan Aceh dilanjutkan oleh Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman setelah mendapat mandat sebagai wali nanggroe dari sultan Muhammad Daudsyah sebelum menyerahkan diri. 1904.
Strategis licik penculikan anggota keluarga Pejuang/teuntara Aceh, Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Raden, saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.
Taktik licik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) di mana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki, 1149 perempuan dan anak-anak.
Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien, istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, walaupun kondisi fisik telah sangat lemah bahkan matapun telah buta. Cut Nyak Dhien akahir dapat ditangkap setelah pengawal kepercayaannya melakukan perjanjian rahasia dengan belanda. Cut nyak Dhien kemudian diasingkan dan meninggal/dikemumikan di Sumedang, Jawa Barat. (Sumber: id.wikipedia.org)
Incoming search: ringkasan perang aceh, kronologi perang aceh, penyebab perang aceh, latar belakang perang aceh, akhir perang aceh, akibat perang aceh, jalannya perang aceh, kisah perang aceh
Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 5 April 1873, Belanda mendarat di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.
Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:
- Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Di mana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada di bawah kekuasaan Aceh.
- Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Di mana isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
- Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
- Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
- Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
- Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
- Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
- Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler dikirimkan pada tahun, namun ekspedisi tersebut berhasil dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah, yang telah memodernisasikan senjatanya. dan bahkan Köhler sendiripun tewas tertembak di depan Mesjid Raya Baiturrahman pada tanggal 10 April 1873.
Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat pada tanggal 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai sultan Aceh di mesjid Indrapuri. Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial setelah berhasil menguasai istana, menyatakan pada dunia bahwa Aceh telah ditaklukan dan perang telah berakhir. namun pernyataan pemerintah belanda ternyata salah besar, perang Aceh terus berlanjut secara gerilya dengan semangat fisabilillah terus berkobar diseluruh Aceh. perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1942 menjelang Jepang datang.
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III dari Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman azh-Zhahir untuk meminta bantuan kepada Kalifah Usmaniyah. Namun Turki Utsmani kala itu sedang menghadapi invasi rusia yang mencaplok kawasanya seperti uzbekistan dan lain-lain. Sedangkan Amerika Serikat menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania Raya yang sedang ditawan disalah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, August Willem Philip Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima perang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut NyaK Dhien, istri Teuku Umar tampil menjadi komandan perang gerilya.
Pada tahun 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Atjehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Isi nasihat Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah:
- Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya.
- Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
- Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.
- Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
- Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada 1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasihatnya, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda), merebut sebagian besar Aceh.
Sultan Muhammad Daudsyah akhirnya terpaksa meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda (Belanda menggunakan strategi licik dengan menekan/menangkap keluarga sultan/pejuang Aceh untuk melemahkan perjuangan mereka). setelah penyerahan diri sultan, perjuangan mempertahankan kedaulatan Aceh dilanjutkan oleh Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman setelah mendapat mandat sebagai wali nanggroe dari sultan Muhammad Daudsyah sebelum menyerahkan diri. 1904.
Strategis licik penculikan anggota keluarga Pejuang/teuntara Aceh, Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Raden, saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.
Taktik licik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) di mana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki, 1149 perempuan dan anak-anak.
Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien, istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, walaupun kondisi fisik telah sangat lemah bahkan matapun telah buta. Cut Nyak Dhien akahir dapat ditangkap setelah pengawal kepercayaannya melakukan perjanjian rahasia dengan belanda. Cut nyak Dhien kemudian diasingkan dan meninggal/dikemumikan di Sumedang, Jawa Barat. (Sumber: id.wikipedia.org)
Incoming search: ringkasan perang aceh, kronologi perang aceh, penyebab perang aceh, latar belakang perang aceh, akhir perang aceh, akibat perang aceh, jalannya perang aceh, kisah perang aceh