Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau, Sumatera Timur, hingga Perak di semenanjung Malaysia.
(Baca: "Biografi Sultan Iskandar Muda")
Aceh merupakan salah satu bangsa di pulau Sumatra yang memiliki tradisi militer, dan pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka, yang meliputi wilayah Sumatra dan Semenanjung Melayu, ketika di bawah kekuasaan Iskandar Muda.
Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengobati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Aceh melawan Portugis
Ketika Kesultanan Samudera Pasai dalam krisis, maka Kesultanan Malaka yang muncul di bawah Parameswara (Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis di bawah pimpinan Afonso DAlbuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis untuk menguasai aceh dapat ditangkis. Disisi lain Aceh juga melakukan berbagai serangan untuk menggulingkan Portugis di Malaka, yang meghambat ekspansi Portugis di asia tenggara.
Hubungan dengan Barat
Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
“Sayalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam.”
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Belanda
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka dia dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam dia terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayah Yang Mulia Ratu Beatrix.
Utsmaniyah
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Istanbul. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Utsmaniyah mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.meriam tersebut menurut informasi kini berada di desa Blang Balok kecamatan peureulak (sumber MAA Atim). Pada 1565, Kesultanan Turki Usmani mengirimkan ekspedisi untuk membantu Kesultanan Aceh memerang Portugis di Malaka. Ekspedisi ini merupakan kelanjutan dari pembicaraan utusan Aceh dengan Sultan Turki Usmani, Sulaiman pada tahun 1564. Ekspedisi Usmani pertama dipimpin oleh Kurtoğlu Hızır Reis yang tediri dari 15 kapal dengan berbagai meriam artileri.
Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Pasca-Sultan Iskandar Thani
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Ia juga menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Persia. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 1/4 di antaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.
(Baca: "Biografi Sultan Iskandar Muda")
Aceh merupakan salah satu bangsa di pulau Sumatra yang memiliki tradisi militer, dan pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka, yang meliputi wilayah Sumatra dan Semenanjung Melayu, ketika di bawah kekuasaan Iskandar Muda.
Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengobati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Aceh melawan Portugis
Ketika Kesultanan Samudera Pasai dalam krisis, maka Kesultanan Malaka yang muncul di bawah Parameswara (Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis di bawah pimpinan Afonso DAlbuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis untuk menguasai aceh dapat ditangkis. Disisi lain Aceh juga melakukan berbagai serangan untuk menggulingkan Portugis di Malaka, yang meghambat ekspansi Portugis di asia tenggara.
Hubungan dengan Barat
Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
“Sayalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam.”
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Belanda
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka dia dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam dia terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayah Yang Mulia Ratu Beatrix.
Utsmaniyah
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Istanbul. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Utsmaniyah mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.meriam tersebut menurut informasi kini berada di desa Blang Balok kecamatan peureulak (sumber MAA Atim). Pada 1565, Kesultanan Turki Usmani mengirimkan ekspedisi untuk membantu Kesultanan Aceh memerang Portugis di Malaka. Ekspedisi ini merupakan kelanjutan dari pembicaraan utusan Aceh dengan Sultan Turki Usmani, Sulaiman pada tahun 1564. Ekspedisi Usmani pertama dipimpin oleh Kurtoğlu Hızır Reis yang tediri dari 15 kapal dengan berbagai meriam artileri.
Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Pasca-Sultan Iskandar Thani
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Ia juga menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Persia. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 1/4 di antaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.