Kesultanan Banten: Sejarah, Pendiri, Raja-Raja, Masa Kejayaan, Kemunduran, dan Peninggalan

Kesultanan Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di wilayah Banten, Indonesia. Kerajaan Banten adalah salah satu kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah menjadi penguasa jalur pelayaran dan perdagangan. Pendirinya Syarif Hidayatullah atau dikenal sebagai Sunan Gunung Jati pada 1525 M.

Kesultanan Banten: Sejarah, Pendiri, Raja-Raja, Masa Kejayaan, Kemunduran, dan Peninggalan
Situs Istana Surosoan yang merupakan Kediaman para Sultan Banten, dari Sultan Maulana Hasanuddin hingga Sultan Haji
Sejarah Berdirinya Kerajaan Banten

Secara tertulis, berita-berita tentang Banten tidak banyak tercatat dalam sejarah sebelum abad ke XVI, konon pada mulanya Banten masih merupakan bagian dari kekuasaan Kerajaan Sunda.

Penguasa Banten pada saat itu adalah Prabu Pucuk Umum, Putera dari Prabu Sidaraja Pajajaran dengan pusat Pemerintahannya bertempat di Banten Girang (±3 Km di Selatan Kota Serang).

Islam mulai masuk ke Banten Pada abad ke VI dibawa oleh sunan Gunung Jati atau Syech Syarifudin Hidayatullah yang secara berangsur-angsur mengembangkan Agama Islam di Banten dan sekitarnya serta dapat menaklukan pemerintahan Prabu Pucuk Umum (Tahun 1524-1525  M).

Setelah proses penaklukan tersebut, Beliau mendirikan Kerajaan/Kesultanan Islam di Banten dengan mengangkat puteranya yang bernama Maulana Hasanuddin sekaligus menjadi Raja / Sultan Banten  pertama yang berkuasa selama 18 tahun (Tahun 1552-1570 M). Atas prakarsa Sunan Gunung Jati, pusat pemerintahan yang semula bertempat di Banten Girang dipindahkan ke Surosowan Banten lama (Banten lor) yang terletak kurang lebih10 Km di sebelah Utara Kota Serang.

Sesudah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian dijadikan pusat pemerintahan sesudah Banten dijadikan kesultanan yang berdiri sendiri. Selama hampir 3 masa zaman Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya.

Sultan Hasanuddin wafat pada tahun 1570 dan digantikan oleh puteranya yang bernama Maulana Yusuf sebagai Raja Banten yang kedua (Tahun 1570-1580 M) dan selanjutnya diganti oleh Raja / Sultan yang ketiga, keempat dan seterusnya sampai dengan terakhir Sultan yang ke 21 (Dua Puluh Satu) yaitu Sultan Muhammad Rafiudin yang berkuasa pada Tahun 1809 sampai dengan 1816. Jadi periode Kesultanan/Kerajaan Islam di Banten berjalan selama kurun waktu ± 264 Tahun yaitu dari Tahun 1552 s/d 1816.


Kedatangan Belanda

Pada zaman Kesultanan ini banyak terjadi peristiwa-peristiwa penting, terutama pada akhir abad ke XVI (Juni 1596). Saat itu orang-orang Belanda datang untuk pertama kalinya mendarat di Pelabuhan Banten dibawah pimpinan Cornelis De Houtman dengan maksud untuk berdagang. Namun sikap yang congkak dari orang-orang Belanda tidak menarik simpati dari Pemerintah dan Rakyat Banten saat itu, sehingga sering timbul ketegangan diantara masyarakat Banten dengan orang-orang Belanda.

Pada saat tersebut, Sultan yang bertahta di Banten adalah Sultan yang ke IV  yaitu Sultan Abdul Mufakir Muhammad Abdul Kadir yang waktu itu masih belum dewasa/bayi, sedang yang bertindak sebagai walinya adalah Mangkubumi Jayanegara yang wafat kemudian pada tahun 1602 dan diganti oleh saudaranya yaitu Yudha Nagara.

Pada Tahun 1608 Pangeran Ramananggala diangkat sebagai Patih Mangkubumi. Sultan Abdul Mufakir mulai berkuasa penuh dari Tahun 1624 s/d Tahun 1651 dengan Ramananggala sebagai Patih dan Penasehat Utamanya.


Masa Kejayaan Kerajaan Banten

Sultan Banten yang ke VI adalah Sultan Abdul Fatah cucu Sultan ke V yang terkenal dengan julukan Sultan Ageng Tirtayasa yang memegang tampuk pemerintahan dari Tahun 1651 sampai dengan 1680 (±selama 30 Tahun).

Pada masa pemerintahannya Bidang  Politik, Perekonomian, Perdagangan, Pelayaran maupun Kebudayaan berkembang maju dengan pesat. Di bawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, kekuatan politik dan angkatan perang Banten maju sangat pesat. Demikian pula kegigihan dalam menetang Kompeni Belanda. Atas kepahlawanannya dalam perjuangan menentang Kompeni Belanda, maka berdasarkan Surat  Keputusan Presiden Republik Indonesia, Sultan Ageng Tirtayasa dianugrahi gelar kehormatan sebagai Pahlawan Nasional.

Beberapa hal yang dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa untuk memajukan Kesultanan Banten, antara lain:

  1. Memajukan wilayah perdagangan Banten hingga ke bagian selatan Pulau Sumatra dan Kalimantan. 
  2. Banten dijadikan tempat perdagangan internasional yang mempertemukan pedagang lokal dengan pedagang Eropa.
  3. Memajukan pendidikan dan kebudayaan Islam.
  4. Melakukan modernisasi bangunan keraton dengan bantuan arsitektur Lucas Cardeel.
  5. Membangun armada laut untuk melindungi perdagangan dari kerajaan lain dan serangan pasukan Eropa. 

Saat Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa, sering terjadi bentrokan dan peperangan dengan para Kompeni Belanda yang pada waktu itu telah berkuasa di Jakarta. Saat itu, Belanda dapat melumpuhkan kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa dengan cara Politik Adu Domba (Devide Et Impera) terutama dilakukan antara Sultan Ageng Tirtayasa yang anti Kompeni dengan puteranya Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) yang pro Kompeni.

Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya tidak berdaya dan menyingkir ke pedalaman, namun dengan bujukan Sultan Haji, Sultan Ageng Tirtayasa dapat ditangkap kemudian ditahan dan dipenjarakan di Batavia hingga wafatnya pada tahun 1692. Namun sekalipun Sultan Ageng Tirtayasa sudah wafat, perjuangan melawan Belanda terus berkobar dan dilanjutkan oleh pengikutnya yang setia dengan gigih dan pantang menyerah.


Kemunduran Kerajaan Banten

Sejak wafatnya Sultan Ageng Tirtayasa, terjadilah kemunduran di kesultanan Banten, karena para Sultan berikutnya sudah mulai terpengaruh oleh kompeni Belanda sehingga pemerintahannya mulai labil dan lemah.

Meski Sultan Haji menjadi raja, namun pengangkatan itu disertai beberapa persyaratan yang tertuang dalam Perjanjian Banten. Sejak saat itu, Kesultanan Banten tidak lagi memiliki kedaulatan dan penderitaan rakyat menjadi semakin berat.

Perang saudara, dan persaingan dengan daya global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Hal ini mengakibatkan runtuhnya Kesultanan Banten.

Daya politik Kesultanan Banten hingga runtuh pada tahun 1813 sesudah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan. Dan pada masa-masa penghabisan pemerintahannya, para Sultan Banten tidak bertambah dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.

Pada tahun 1808, Gubernur Jenderal Daendels mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa Kerajaan Banten menjadi bagian dari Hindia Belanda secara sepihak. Sultan Muhammad Shafiuddin, yang saat itu menjadi raja terakhir Kerajaan Banten, menolak dekrit tersebut dan melawan Daendels.

Kesultanan Banten mengalami kemunduran politik setelah Istana Surosowan dihancurkan. Pada masa-masa akhir pemerintahannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.

Kesultanan Banten runtuh pada tahun 1813. Pada tahun itu, Thomas Stamford Raffles, yang mewakili pemerintah kolonial Inggris, resmi menghapuskan Kesultanan Banten. 


Peninggalan Sejarah (Selengkapnya...)

Kerajaan Banten memiliki benda peninggalan yang menjadi bukti bahwa kerajaan ini pernah berjaya pada masanya, antara lain:

1. Benteng Speelwijk

Benteng Speelwijk merupakan benteng yang didirikan pada masa kepemimpinan Sultan Abu Nasr Abdul Kahhar atau Sultan Haji.

Benteng yang dibangun pada 1682 ini merupakan simbol kekuasaan Belanda dan diperkirakan sebagai tempat permukiman dan pertahanan Belanda.

2. Danau Tasikardi

Peninggalan Kerajaan Banten berikutnya adalah Danau Tasikardi. Danau buatan ini diperkirakan dibuat pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf.

Danau Tasikardi memiliki luas kira-kira 6,5 hektare dan dilapisi dengan keramik dan batu bata. Lokasinya berada di Jalan Banten Lama, Pegadingan, Kecamatan Kramatwatu, Kabupaten Serang, Banten.

3. Keraton Kaibon

Keraton Kaibon adalah peninggalan Kerajaan Banten yang dibangun pada 1815. Keraton ini merupakan bekas kediaman Sultan Syafiuddin, Sultan Banten yang memerintah pada 1809-1815.

Pada 1832, keraton yang berlokasi di Kasunyatan, Kesemen, Serang, Banten ini dibongkar oleh Pemerintah Hindia Belanda. Bangunannya menyisakan fondasi, gapura, dan tembok-tembok.

5. Masjid Agung Banten

Masjid Agung Banten dibangun pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hassanuddin. Keunikan masjid ini adalah bangunannya merupakan akulturasi tiga budaya, Cina, Arab, dan Eropa.

Di kawasan masjid, terdapat makam sultan dan keluarga sultan, tepatnya berada di serambi masjid. Saat ini, Masjid Agung Banten digunakan sebagai wisata religi untuk memperingati hari-hari besar, seperti peringatan Maulud Nabi.

6. Meriam Ki Amuk

Meriam Ki Amuk diperkirakan dibuat pada pertengahan abad ke-17. Meriam ini memiliki panjang 341 cm, diameter belakang 66 cm, diameter mulut 60 cm, dan bagian dalam 32 cm.

Meriam Amuk terdapat di Benteng Speelwijk. Dalam sejarahnya, meriam ini memiliki daya tembakan yang jauh dan ledakan yang besar.

7. Vihara Avalokitesvara

Vihara yang terletak di Kecamatan Kasemen, wilayah Banten Lama ini dibangun oleh Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.

Tokoh penyebar islam di tanah Jawa ini memiliki istri yang masih keturunan kaisar Tiongkok bernama Putri Ong Tien. Melihat banyak pengikut putri yang masih memegang teguh keyakinannya, Sunan Gunung Jati membangun vihara pada tahun 1542 di wilayah Banten, tepatnya di Desa Dermayon dekat dengan Masjid Agung Banten.

Namun, pada tahun 1774 vihara dipindahkan ke Kawasan Pamarican hingga sekarang. Ukiran pada vihara ini menceritakan kejayaan Banten Lama, saat masih menjadi kota pelabuhan.


Sumber:
  • https://serangkab.go.id/sejarah
  • https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20230616143958-569-962807/7-peninggalan-kerajaan-banten-salah-satunya-masjid-agung
  • id.wikipedia.org