Sejarah Kesultanan Langkat (1568-Kini)

pembantaian kesultanan langkat, istana kesultanan langkat, kesultanan_ langkat pdf, silsilah kesultanan langkat, sejarah kesultanan langkat, bukti peninggalan kesultanan langkat, sultan langkat sekarang, putri sultan langkat

Sejarah Kesultanan Langkat (1568-Kini)
Istana Darul Aman di Tanjung Pura, sekitar tahun 1920.

Kesultanan Langkat merupakan kerajaan Islam yang dulu pernah memerintah di wilayah Kabupaten Langkat, Sumatra Utara sekarang, sejak abad ke-16. Kesultanan Langkat menjadi makmur karena dibukanya perkebunan karet dan ditemukannya cadangan minyak di Pangkalan Brandan. Kesultanan Langkat merupakan monarki yang berusia paling tua di antara monarki-monarki Melayu di Sumatra Timur.

Sejarah berdirinya

Kesultanan Langkat merupakan penerus Kerajaan Aru, yang hancur karena ditaklukkan oleh Kesultanan Aceh. Pada tahun 1568, di wilayah yang kini disebut Hamparan Perak, salah seorang petinggi Kerajaan Aru yang bernama Dewa Shahdan berhasil menyelamatkan diri dari serangan Kesultanan Aceh dan mendirikan sebuah kerajaan. Kerajaan inilah yang menjadi cikal-bakal Kesultanan Langkat modern.

Nama Langkat berasal dari nama sebuah pohon yang menyerupai pohon langsat. Pohon langkat memiliki buah yang lebih besar dari buah langsat namun lebih kecil dari buah duku. Rasanya pahit dan kelat. Pohon ini dahulu banyak dijumpai di tepian Sungai Langkat, yakni di hilir Sungai Batang Serangan yang mengaliri kota Tanjung Pura. Hanya saja, pohon itu kini sudah punah.

Dewa Shahdan memerintah Kesultanan Langkat dari 1568 hingga 1580. Tahta berganti ke Dewa Sakti, namun ia tewas dalam penyerangan yang kembali dilakukan oleh Kesultanan Aceh pada tahun 1612. Pada masa kepemimpinan Raja Kejuruan Hitam (1750-1818), serangan terhadap Langkat berasal dari Kerajaan Belanda. Langkat sebelumnya merupakan bawahan Kesultanan Aceh sampai awal abad ke-19. Pada saat itu raja-raja Langkat meminta perlindungan Kesultanan Siak. Tahun 1850 Aceh mendekati Raja Langkat agar kembali ke bawah pengaruhnya, namun pada 1869 Langkat menandatangani perjanjian dengan Belanda, dan Raja Langkat diakui sebagai Sultan pada tahun 1877.

Perkembangan

Raja ketiga Langkat, yaitu Raja Kahar (1612-1673), merupakan penguasa yang merintis perpindahan ibu kota ke Langkat. Sehingga pada masa pemerintahan Raja Kahar inilah, Kesultanan Langkat mulai menunjukkan kedaulatannya. Setelah Raja Kahar meninggal pada 1673, takhta kerajaan jatuh kentangan putranya yang bernama Badiuzzaman. Pada masa Raja Badiuzzaman inilah, Langkat mulai menaklukkan daerah sekitarnya dengan cara-cara damai hingga ia meninggal pada 1750. Raja Badiuzzaman kemudian digantikan oleh Raja Hitam, yang pemerintahannya diwarnai oleh serangan Kerajaan Siak. Raja Hitam yang mengungsi terpaksa mengungsi ke Deli, melakukan konsolidasi untuk mencari bantuan guna menyerang kembali Kerajaan Siak. Namun, ketika perjalanan hendak menyerang Siak, Raja Hitam meninggal pada 1818. Setelah perang dengan Siak berakhir, pada 1855, Aceh menyerang Langkat yang saat itu dipimpin oleh Tuanku Sulan Haji Musa. Perang tersebut dimenangkan oleh Aceh, yang ditandai dengan pengakuan Tuanku Haji Musa atas gelar Pangeran Indra Diraja Amir sebagai pahlawan Aceh.

Masa Kolonial

Pada masa pemerintahan Sultan Musa al-Khalid al-Mahadiah Muazzam Shah, seorang administrator Belanda bernama Aeilko Zijlker Yohanes Groninger dari Deli Maatschappij menemukan konsesi minyak bumi di Telaga Said, Pangkalan Brandan. Konsesi pertama eksploitasi minyak bumi diberikan oleh Sultan pada tahun 1883. Dua tahun kemudian, dilakukan pengeboran pertama minyak bumi dari perut bumi. Pada tahun 1892 kilang minyak Royal Dutch yang menjalankan usaha eksploitasi mulai melakukan produksi massal.

Berkat ditemukannya ladang minyak tersebut, pihak Kesultanan Langkat menjadi kaya raya akibat pemberian royalti hasil produksi minyak dalam jumlah besar. Secara umum bila di bandingkan dengan kesultanan-kesultanan Melayu di Sumatra Timur saat itu, Langkat jauh lebih makmur melebihi harapan. Bersama Kesultanan Siak, Kesultanan Kutai Kartanegara, dan Kesultanan Bulungan, Langkat menjadi salah satu negeri terkaya di Hindia Belanda saat itu. Salah satu sisa kejayaan Langkat yang dapat disaksikan sekarang adalah Masjid Azizi di Tanjung Pura.

Pada tahun 1907 Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmat Shah menandatangani kontrak politik dengan Belanda yang diwakili oleh Jacob Ballot selaku Residen van Sumatra Oostkust. Dalam perjanjian ini batas wilayah Kesultanan Langkat ditetapkan. Daerah-daerah yang termasuk dalam wilayah kekuasaan Sultan terdiri dari Pulau Kumpei, Pulau Sembilan, Tapak Kuda, Pulau Masjid dan pulau-pulau kecil di dekatnya, Kejuruan Stabat, Kejuruan Bingei (Binjai), Kejuruan Selesei, Kejuruan Bahorok, daerah dari Datu Lepan, dan daerah dari Datu Besitang.


Wilayah Langkat secara administratif dibagi menjadi tiga bagian:

  1. Langkat Hulu
  2. Langkat Hilir
  3. Teluk Haru


Terjadi perhelatan besar pada bulan November 1926, di mana Sultan Ahmad Sulaimanuddin dari Kesultanan Bulungan di Kalimantan Utara meminang putri Sultan Abdul Aziz yaitu Putri Lailan Syafinah. Oleh rakyat Langkat, Sultan Bulungan dikenal dengan nama Sultan Maulana Ahmad. Jarak antara Bulungan dan Langkat jika ditarik garis lurus mencapai sekitar 2.200 kilometer. Arsip Belanda juga mencatat sejumlah foto pernikahan keduanya di Tanjung Pura, yang juga dirayakan dengan tarian Suku Karo.

Masa Pendudukan Jepang

Pada masa Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah, tepatnya saat tentara Kekaisaran Jepang masuk dan membuat Belanda mundur, sejumlah catatan menunjukkan penderitaan rakyat Langkat saat itu. Rakyat diperas dan diperbudak untuk mengerjakan proyek-proyek Jepang. Disini tak ditemukan bagaimana relasi, kontestasi, dan peta politik Langkat dengan kerajaan-kerajaan tetangga.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan

Beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dibacakan oleh Soekarno dan Hatta, kabar mengenai proklamasi bahkan belum sampai ke Kesultanan Langkat. Tapi tak lama kemudian, suasana mulai memanas. Laskar-laskar terbentuk. Dan pada 5 Oktober 1945, Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah kemudian menyatakan bergabungnya kesultanan dengan negara Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Oktober, Tengku Amir Hamzah diangkat menjadi Asisten Residen (Bupati) Langkat dan berkedudukan di Binjai oleh Gubernur Sumatra, Teuku Muhammad Hasan.

Kekuasaan Kesultanan Langkat atas politik dan pemerintahan runtuh bersamaan dengan meletusnya Revolusi Sosial yang didukung pihak komunis pada tahun 1946. Pada saat itu banyak keluarga Kesultanan Langkat yang terbunuh, termasuk Tengku Amir Hamzah, penyair Angkatan Pujangga Baru dan pangeran Kesultanan Langkat.

Puluhan orang yang berhubungan dengan swapraja ditahan dan dipenjarakan oleh laskar-laskar yang tergabung dalam Volksfront. Di Binjai, Tengku Kamil dan Pangeran Stabat ditangkap bersama beberapa orang pengawalnya. Istri-istri mereka juga ditangkap dan ditawan ditempat berpisah. Berita yang paling ironis adalah pemerkosaan dua orang putri Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah pada malam jatuhnya Istana Darul Aman, 9 Maret 1946.

Setelah menangkap Tengku Amir Hamzah, Peradilan Rimba, demikian istilah bagi laskar-laskar itu, menjatuhkan hukuman pancung bagi Amir Hamzah. Jasadnya kemudian ditumpuk dengan jenazah ke 26 Tengku lainnya. Keesokan harinya jasad Amir Hamzah dikebumikan di Masjid Azizi, Tanjung Pura. Istana Darul Aman memang diserbu dan dibakar, akan tetapi Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah tak turut dibunuh. Ia ditangkap dan diasingkan ke Batang Serangan hingga kemudian Belanda membebaskannya pada bulan Juli 1947.

Setelah Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah wafat pada tahun 1948, para Sultan Langkat praktis kehilangan kekuasaan politiknya dan hanya bertakhta sebagai Pemangku Adat dan Kepala Keluarga Kerajaan.

Raja-raja Kesultanan Langkat

  1. 1568-1580: Panglima Dewa Shahdan
  2. 1580-1612: Panglima Dewa Sakti, anak raja sebelumnya
  3. 1612-1673: Raja Kahar bin Panglima Dewa Sakdi, anak raja sebelumnya
  4. 1673-1750: Bendahara Raja Badiuzzaman bin Raja Kahar, anak raja sebelumnya
  5. 1750-1818: Raja Kejuruan Hitam (Tuah Hitam) bin Bendahara Raja Badiuzzaman, anak raja sebelumnya
  6. 1818-1840: Raja Ahmad bin Raja Indra Bungsu, keponakan raja sebelumnya
  7. 1840-1893: Tuanku Sultan Haji Musa al-Khalid al-Mahadiah Muazzam Shah (Tengku Ngah) bin Raja Ahmad, anak raja sebelumnya
  8. 1893-1927: Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah bin Sultan Haji Musa, anak raja sebelumnya
  9. 1927-1948: Tuanku Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah bin Sultan Abdul Aziz, anak raja sebelumnya
  10. 1948-1990: Tengku Atha'ar bin Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah, anak raja sebelumnya, sebagai pemimpin keluarga kerajaan
  11. 1990-1999: Tengku Mustafa Kamal Pasha bin Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah, saudara raja sebelumnya
  12. 1999-2001: Tengku Dr. Herman Shah bin Tengku Kamil, cucu Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah
  13. 2001-2003: Tuanku Sultan Iskandar Hilali Abdul Jalil Rahmad Shah al-Haj bin Tengku Murad Aziz, cucu Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah, gelar Sultan dipakai kembali
  14. 2003-Sekarang: Tuanku Sultan Azwar Abdul Jalil Rahmad Shah al-Haj bin Tengku Maimun, cucu Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah

Referensi:
  • Taniputera, Ivan. 2017. Ensiklopedi Kerajaan-Kerajaan Nusantara: Hikayat dan Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
  • Kesultanan Langkat - Wikipedia bahasa Indonesia, enslikopedia bebas, https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Langkat
  • Kesultanan Langkat: Sejarah, Perkembangan, dan Raja-raja, https://www.kompas.com/stori/read/2022/01/26/150000679/kesultanan-langkat--sejarah-perkembangan-dan-raja-raja?page=all