Sejarah SIngkat Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

Siapa pendiri Kesultanan Ngayogyakarta?, Bagaimana sejarah berdirinya keraton Ngayogyakarta Hadiningrat?, Siapa nama raja yang memerintah di Keraton Yogyakarta?, Siapa saja keturunan Hamengkubuwono 1?, sejarah kesultanan ngayogyakarta hadiningrat, raja keraton yogyakarta sekarang, ngayogyakarta hadiningrat artinya, sejarah keraton yogyakarta, kesultanan yogyakarta dipimpin oleh, masa kejayaan kesultanan yogyakarta, arsitektur keraton yogyakarta, daftar nama putra keraton yogyakarta

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negara dependen yang berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta. Kontrak politik terakhir antara negara induk dengan kesultanan adalah Perjanjian Politik 1940 (Staatsblad 1941, No. 47).

Sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun 1950 status negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman) diturunkan menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua. pendiri Kesultanan Yogyakarta yakni Pangeran Mangkubumi resmi diangkat sebagai Sultan bergelar Hamengkubuwana I dan berkuasa atas setengah daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu Susuhunan Pakubuwana III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan nama baru Kesunanan Surakarta dan daerah pesisir tetap dikuasai VOC.

Sultan Hamengkubuwana I kemudian segera membuat ibu kota kerajaan beserta istananya yang baru dengan membuka daerah baru (jawa: babat alas) di Hutan Paberingan yang terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Ibu kota berikut istananya tersebut dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dan lansekap utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756.

Setelah wujud keraton mulai terbentuk pada tanggal 7 Oktober 1756, Sultan Hamengkubuwana I beserta pengikutnya segera melakukan boyong kedhaton atau melakukan perpindahan dari Pesanggrahan Ambarketawang Gamping menuju ke keraton yang baru.

Sejarah SIngkat Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Hamengku Buwana X
Melihat kemajuan yang sangat pesat akan keraton, rasa kekhawatiran pihak Belanda mulai muncul. Pihak Belanda mengusulkan kepada Sultan agar diizinkan membangun sebuah benteng di dekat keraton, dengan dalih agar Belanda dapat menjaga keamanan keraton dan sekitarnya. Namun siasat belanda terhambat pembangunan benteng Belanda menjadi terhambat, Dengan Taktik Sultan maka pembangunan benteng selesai lebih lambat dari yang direncanakan.

Sepeninggal Sultan Hamengkubuwana I pada tahun 1792, tahta diberikan kepada Adipati Anom (putra mahkota), yakni Raden Mas Sundara, dengan gelar Sultan Hamengkubuwana II.

Pada masa ini, Kesultanan Yogyakarta mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam bidang sastra. Namun, Yogyakarta harus menghadapi beberapa tekanan politik dari Belanda.

Kemelut semakin menjadi-jadi setelah patih Danureja II dilantik untuk menggantikan patih sebelumnya. Danureja II cenderung memihak kepada Belanda, sehingga hubungannya dengan Sultan memburuk. Selain itu, muncul pula pemberontakan yang dilakukan oleh Raden Ronggo, Bupati Madiun yang konon dilakukan atas izin Sultan.

Belanda mencurigai peran Sultan dalam pemberontakan tersebut, sehingga pada bulan Desember 1810 Daendels menyerang Yogyakarta dan menurunkan Sultan Hamengkubuwana II. Ia digantikan oleh anaknya, Pangeran Adipati Anom bernama Raden Mas Suraja yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwana III. Belanda juga menjadikan beberapa kerabat dari Sultan menjadi tawanan politik. Meski begitu, Hamengkubuwana II tetap diizinkan tinggal di keraton menjadi Sultan Sepuh.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu, mewujudkan sebuah Daerah Istimewa Yogyakarta yang bersifat kerajaan. Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Pada tahun 1950 secara resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini, bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi sebagai bagian Negara Kesatuan Indonesia. Dengan demikian status Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai sebuah negara (state) berakhir dan menjelma menjadi pemerintahan daerah berotonomi khusus. Sedangkan institusi istana kemudian dipisahkan dari "negara" dan diteruskan oleh Keraton Kesultanan Yogyakarta.


Keraton Yogyakarta

Sejarah SIngkat Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan pada tahun 1755 oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Keraton ini didirikan sebagai istana baru akibat perpecahan Mataram Islam dengan adanya Perjanjian Giyanti.

Pembangunan Keraton Yogyakarta dimulai pada tanggal 9 Oktober 1755. Selama proses pembangunan yang berlangsung hampir satu tahun, Sultan Hamengkubuwono I, yang juga berperan sebagai arsiteknya, tinggal di Pesanggrahan Ambar Ketawang.

Keraton Yogyakarta adalah pecahan dari Keraton Surakarta Hadiningrat dari Mataram Islam Surakarta (Kerajaan Surakarta). Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati.

Keraton Yogyakarta adalah cikal bakal keberadaan pemukiman di wilayah Yogyakarta. Kawasan ini merupakan living monument, yang masih hidup dan juga memiliki luas.