Sejarah Kadipaten Pakualaman

Kadipaten Pakualaman adalah negara vasal dependen dari Pemerintah Pendudukan Inggris dan kemudian Hindia Belanda. Kadipaten ini merupakan salah satu dari empat kerajaan Jawa (Praja Kejawen) yang berasal dari Kerajaan Mataram Islam dan  berstatus swapraja pada masa kolonial Belanda.

Pada masa penjajahan Inggris, Sultan Hamengku Buwono II menyerahkan kekuasaan kepada adiknya, Pangeran Natakusuma. Pangeran Natakusuma kemudian mendapatkan gelar KGPAA Paku Alam I.

Pada tahun 1950, status Kadipaten Pakualaman diubah menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah wilayah khusus setara dengan provinsi.

Kadipaten Pakualaman atau Negeri Pakualaman atau Praja Pakualaman didirikan pada tanggal 17 Maret 1813, ketika Pangeran Notokusumo, putra dari Sultan Hamengku Buwono I dengan Selir Srenggorowati dinobatkan oleh Gubernur-Jenderal Sir Thomas Raffles (Gubernur Jendral Britania Raya yang memerintah saat itu) sebagai Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I. Status kerajaan ini mirip dengan status Praja Mangkunagaran di Surakarta.

Sejarah Kadipaten Pakualaman

Pembentukan

Kadipaten Pakualaman atau Negeri Pakualaman atau Praja Pakualaman didirikan pada tanggal 17 Maret 1813, ketika Pangeran Notokusumo, putra dari Sultan Hamengku Buwono I dengan Selir Srenggorowati dinobatkan oleh Gubernur-Jenderal Sir Thomas Raffles (Gubernur Jendral Britania Raya yang memerintah saat itu) sebagai Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I. Status kerajaan ini mirip dengan status Praja Mangkunagaran di Surakarta.


Masa awal

Berawal dari pertikaian Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di bawah Sri Sultan Hamengku Buwono II (HB II) melawan pemerintahan Gubernur Jenderal Belanda (di bawah pengaruh Prancis semasa Raja Lodewijk Napoleon dari Prancis) Herman Willem Daendels. Daendels mengirim pasukannya menyerang Kraton Yogyakarta pada Desember 1810 untuk memadamkan pemberontakan Raden Ronggo (KAA Ronggo Prawirodirdjo III, bupati Madiun dan penasihat politik HB II) yg akhirnya berakibat penurunan paksa HB II dari tahta. Tampuk kekuasaan dialihkan kepada GRM Soerojo yg diangkat sebagai wali raja (regent) dengan gelar Sultan Hamengku Buwono III. Saudara tiri HB II, Pangeran Notokusumo dan putranya Notodiningrat, yang mendukung pemberontakan ini pun ditangkap Belanda di Semarang dan dibawa ke Batavia.

Pada 1811, kekuasaan kolonial Belanda-Prancis di Pulau Jawa direbut oleh Inggris dengan Kapitulasi Tuntang 11 Agustus 1811, dan Inggris mengutus Sir Thomas Stamford Raffles untuk memimpin koloni ini dengan jabatan Wakil Gubernur Jenderal. Raffles berusaha mendapat dukungan dari para penguasa lokal, salah satunya Sultan HB II (yg dikenal sebagai Sultan Sepuh). Ia mengutus Captain Robinson ke Yogyakarta untuk mengembalikan HB II ke tahtanya dan dan menurunkan RM Suryo (HB III) kembali menjadi putra mahkota dengan gelar Kanjeng Pangeran Adipati Anom pada 10 Desember 1811.

Sampai di sini ada 2 versi mengenai peran Pangeran Notokusumo dalam ontran-ontran di Kasultanan Yogyakarta menurut sejarahwan KPH Sudarisman Poerwokoesoemo, mantan walikota ke-2 Yogyakarta dan salah seorang pendiri UGM.


Versi I:

BPH Notokusumo menemui HB II untuk menyampaikan proposal dari pemerintah kolonial Inggris untuk menyerahkan takhta kepada Adipati Anom dan meminta maaf kepada Inggris atas insiden pembunuhan Danureja II yang dilakukan menurut perintahnya dengan kompensasi Inggris memberi amnesti kepada Sultan. Sultan juga meminta agar sikapnya jangan dipublikasikan. Sultan menyambut sendiri kedatangan Raffles ke Yogyakarta dan mengadakan jamuan kenegaraan.

Konflik dan intrik berdarah ternyata tidak berhenti. Kondisi yang berbalik seratus delapan puluh derajat ini menyebabkan Adipati Anom menjadi ketakutan. Kali ini konflik turut menyeret Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunagaran. Setelah ibundanya ditahan oleh Sultan Sepuh karena dianggap ikut memengaruhi Adipati Anom, Adipati Anom bekerja sama dengan Kapten Tan Jin Sing menemui John Crawford, residen Inggris untuk Yogyakarta. Dari hasil pertemuannya Crawford dalam suratnya kepada Raffles mengusulkan Adipati Anom diangkat lagi menjadi sultan. Dalam surat itu pula Notokusumo diusulkan menjadi Pangeran Merdika. Akhirnya diusulkan Raffles datang ke Yogyakarta dengan membawa pasukan untuk berperang.


Versi II:

Segera setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda-Prancis kepada Inggris, Hamengkubuwana II kembali mengambil alih tahta dari putranya. Kepada pemerintah Inggris Sultan mengusulkan beberapa tuntutan, di antaranya, pembayaran kembali uang ganti rugi daerah pesisiran yang diambil Belanda, Penyerahan makam-makam leluhur, dan diserahkannya Pangeran Natakusuma dan putranya Natadiningrat.

Oleh Raffles, HB II dibiarkan dalam kedudukannya dan bahkan diperkuat kedudukannya. Tuntutan Sultan untuk membebaskan kedua kerabatnya dipenuhi. Namun HB II diminta untuk membubarkan Angkatan Bersenjata Kasultanan. Akibat campur tangan Inggris terlalu jauh dalam urusan istana, HB II segera mengadakan perundingan dengan Sahandhap Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Susuhunan Pakubuwana IV dari Surakarta untuk melepaskan diri dari Inggris. HB II secara terang-terangan menentang Inggris dengan menolak pembubaran pasukannya dan justru memperkuat pertahanan di istana serta menambah jumlah milisi bersenjata. Natakusuma dan Kapten Tan Djiem Sing-lah yang memberi tahu kepada Inggris segala rencana Sultan.

Dan akibatnya pada 18 Juni 1812, pasukan Inggris bersenjata lengkap dipimpin Admiral Gillespie mengepung Kraton Yogyakarta, dibantu oleh Legiun Mangkunegaran di bawah komando Pangeran Prangwedana. Gillespie segera mengirim ultimatum kepada HB II untuk segera menyerahkan tahta pada Adipati Anom dan menjadikan BPH Natakusuma menjadi pangeran mardika. Sultan HB II dengan tegas enggan memenuhi ultimatum. Sebuah versi lain mengemukakan mulai 18 Juni 1812 istana mulai dihujani meriam. Setelah mengepung tiga hari dan mengadakan serangan kilat pada hari terakhir, istana dapat ditaklukkan pada 20 Juni 1812. Versi lain berpendapat mulai 20 Juni 1812 keraton mulai diserang dan pada 28 Juni 1812 istana sepenuhnya dapat dikuasai Inggris. Pada tanggal itu pula Sultan HB II untuk kedua kalinya diberhentikan dan sekali lagi HB III dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta.

Akhirnya HB II ditangkap dan dibuang ke Pulau Penang dan putra mahkotanya RM Suryo dinobatkan sebagai raja penuh bergelar Sultan Hamengku Buwono III (HB III). Peristiwa ini dikenal sebagai GEGER SEPOY oleh masyarakat Jogja. (catatan: Sepoy berasal dari kata nama pasukan Inggris yg direkrut dari kaum Sepoy/Sepohi/Sepehi dari India).

Akibat pertempuran tersebut, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat harus menerima konsekuensi, antara lain:

  1. Yogyakarta harus melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setiap tahunnya.
  2. Angkatan bersenjata Kasultanan Ngayogyakarta diperkecil menjadi hanya beberapa kesatuan tentara keamanan keraton saja.
  3. Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo, saudara tiri HB II yang berjasa mendukung Inggris, dan diangkat menjadi Pangeran Adipati Paku Alam I.

Berdasarkan point (3) di ataslah, kemudian Pangeran Notokusumo dinobatkan menjadi Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I pada 29 Juni 1813, menyusul Political Contract 17 Maret 1813 antara Residen Inggris John Crawford dan Pangeran Notokusumo, yang isinya antara lain:

  1. BPH Notokusumo diangkat sebagai Pangeran Mardika di bawah Kerajaan Inggris dengan gelar Pangeran Adipati Paku Alam I
  2. Kepadanya diberikan tanah dan tunjangan, tentara kavaleri, hak memungut pajak, dan hak takhta yang turun temurun.
  3. Tanah yang diberikan meliputi sebuah kemantren di dalam kota Yogyakarta (sekarang menjadi wilayah kecamatan Pakualaman) dan daerah Karang Kemuning (selanjutnya disebut Kabupaten Adikarto) yang terletak di bagian selatan Kabupaten Kulon Progo sekarang.

Selain memerintah kadipatennya sendiri, Paku Alam I juga merangkap sebagai wali Sultan Hamengku Buwono IV yg naik tahta di usia 10 tahun pada tahun 1814 sepeninggal ayahnya HB III yg memerintah secara singkat selepas ontran-ontran di Kraton Yogyakarta. Paku Alam I berbagi tugas dengan GKR Ageng dan GKR Kencana, nenek dan bunda Sultan, serta Patih Danurejo IV. PA I mengundurkan diri sebagai wali Sultan pada tahun 1820. Ketika Hamengku Buwono V dinobatkan pada usia 3 tahun menggantikan ayahnya Hamengku Buwono IV yg wafat di usia 19 tahun pada tahun 1823, Paku Alam I sudah tidak lagi diikutkan pada perwalian raja tersebut.

Pada 7 Maret 1822 secara resmi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda Paku Alam I diberi gelar Pangeran Adipati. Selanjutnya gelar ini hanya digunakan untuk para penguasa Kadipaten yang telah berusia lebih dari 40 tahun. Dalam Perang Jawa (Pemberontakan Diponegoro, 1825-1830) Paku Alam bersifat pasif.

Setelah memerintah selama sekitar 16 tahun Paku Alam I wafat pada tahun 1829 dan dimakamkan di Kotagede, Yogyakarta. Pendiri Kadipaten Pakualaman ini meninggalkan 11 putra-putri, dan digantikan takhtanya oleh putranya, RT Notodiningrat (Pangeran Suryaningrat), dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Suryaningrat pada 18 Desember 1829. Baru setelah menandatangani Politiek Contract 1831-1832-1833 dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda, dia dikukuhkan menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (KGPA) Paku Alam II.


Masa kemerdekaan

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Dukungan kedua pemimpin monarki ini semakin kuat kepada republik setelah terbitnya Amanat 5 September 1945 yang berisikan integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dari peristiwa tersebut, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman resmi bergabung dalam Republik Indonesia dengan status daerah istimewa setingkat provinsi, di mana pelaksanaannya disahkan pada tahun 1950. Sultan diangkat sebagai Gubernur, dan Sri Paku Alam sebagai Wakil Gubernur. (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kadipaten_Pakualaman)