Sejarah Kerajaan / Kesultanan Aceh

raja kerajaan aceh, peninggalan kerajaan aceh, jelaskan tentang kesultanan aceh, sejarah kerajaan aceh, letak kerajaan aceh, kerajaan aceh mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan, aspek politik kesultanan aceh, pendiri kerajaan aceh adalah. Siapa nama raja dari Kerajaan Aceh? Apa saja kerajaan di Aceh? Apa saja kejayaan Kerajaan Aceh? Apa nama kerajaan Islam di Aceh?

Sejarah Kerajaan / Kesultanan Aceh
Benteng Indraparta

Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatra dengan ibu kota Banda Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.

Aceh memiliki sejarah panjang sebagai salah satu lokasi kerajaan Islam awal di Nusantara. Di tanah rencong, pernah berdiri Kerajaan Samudera Pasai (1272-1450 M) dan Kesultanan Aceh Darussalam (1516-1700 M) yang berlokasi strategis di Semenanjung Malaya. Kesultanan Aceh Darussalam sejak berdiri telah melandaskan asas negara dengan ajaran Islam. Oleh sebab itu, kerajaan ini menjadi sebuah kerajaan Islam alias kesultanan yang berkembang seiring mulai meredupnya pamor kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Nusantara.

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.

Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.


Masa Kejayaan

Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Kala itu, kerajaan bercorak Islam yang berpusati Kutaraja Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh) ini memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan angkatan perang yang kuat. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.

Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.


Keruntuhan & Peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam

Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.

Sepeninggal Sultan Iskandar Muda yang wafat pada 27 Desember 1636, seperti dikutip dari laman Pemprov Aceh, Kesultanan Aceh melemah di tangan penerus-penerusnya. Kesultanan Aceh perlahan merosot wibawanya dan mulai terpengaruh oleh bangsa lain.

Bangsa Barat mulai menguasai Aceh dengan penandatanganan Traktat London dan Traktat Sumatera. Pada 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang dengan Kesultanan Aceh dan terjadilah Perang Sabi selama 30 tahun. Banyak jiwa yang menjadi korban. Akhirnya Sultan Aceh terahir, Sultan Muhammad Daud Syah, mengakui kedaulatan Belanda di Aceh.

Sejak saat itu, wilayah Aceh masuk secara administratif ke dalam Hindia Timur Belanda (Nederlansch Oost-Indie) yang kemudian menjelma sebagai Hindia Belanda, cikal-bakal Indonesia.


Peninggalan Kerajaan Aceh

Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri, Komplek Kandang XII (Komplek Pemakaman Keluarga Kesultanan Aceh), Pinto Khop, Leusong, Gunongan dipusat Kota Banda Aceh, dan meriam Kesultanan Aceh. Taman Ghairah yang disebut Ar Raniry dalam Bustanus Salatin sudah tidak berjejak lagi. Selain itu ada juga Masjid Kuno Indrapuri yang dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda, makam Sultan Iskandar Muda, uang emas Kerajaan Aceh, stempel cap Sikureung, kerkhof, pedang Aman Nyerang, dan berbagai naskah karya sastra.


Sumber: